Politik Kyai-Santri 2





Makna kata ' berkah ' diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan seluruh manusia. Pada tulisan sebelumnya disebutkan barokah atau berkah itu menjadi sangat sensitif dikalangan santri, karena berkah menjadi apa saja yang dibutuhkan oleh mereka untuk mencapai kesejahteraan, terutama bertambah suksesnya seseorang dikarenakan oleh perilaku atau usaha usaha yang tidak masuk akal termasuk di dalamnya adalah ridho para kyai serta ritual tertentu.




Dalam hal ini saya tidak akan mendiskusikan masalah keberkahan, karena persoalan tersebut tidak merugikan siapapun baik secara sosial maupun politik kebangsaan. Yang menjadi persoalan adalah situasi politik yang terjadi saat ini adalah hasil dan bagian dari komunikasi politik sebelumnya yang dilakukan secara sadar oleh masyarakat; baik melalui sosial media ataupun melalui grand design isu politik pada setiap hajatan pemilihan umum (PEMILU) yang terjadi di Indonesia. Dan sayangnya ini dianggap sebagai ritual lima tahunan yang sah terjadi dan termaafkan dan akan berulang terjadi lagi sebagai kejadian yang lumrah.




Manakala eskalasi politik memanas, karena berbagai pihak ikut andil dalam membangun infrastruktur politik yang tidak rasional dan terus menerus. Pada masa Soeharto, isu PKI adalah jajanan politik yang masuk akal untuk mendiskriditkan kelompok tertentu khususnya kaum abangan. Sedangkan pada masa sekarang khususnya era reformasi terutama era pemerintahan Jokowi maka isu yang sangat mudah dilakukan oleh elit politik secara terus menerus dan dipercaya adalah isu soal khilafah atau cita cita kelompok tertentu mengganti Idiologi Pancasila menjadi Islam.




Model dan metodenya sama, yaitu fenomena yang terjadi, menarik kesimpulan kemudian mengangkatnya sebagai isu publik atau isu nasional. Bedanya hanya obyek penderitanya; Untuk kasus Komunisme yang dibidik adalah non Islam sedangkan Khilafah sebaliknya yang di bidik adalah komunitas Islam garis keras. Kembali saya tidak akan membahas soal khilafah ini, akan tetapi saya sedang ingin menjelaskan bahwa kemunduran politik saat ini terjadi disebabkan oleh tidak semakin inovatifnya elit politik, maupun intelektual menciptakan isu development studies yang bisa membawa kemajuan sistem politik yang bebas dan terbuka; akan tetapi secara sadar justru melakukan pembodohan massal, yang menciptakan ketakutan ketakutan kembali seperti ketakutan untuk terbuka melakukan kritik. Karena anggapan bahwa kritik itu adalah hak publik  bagi yang memilih, sedangkan yang terjadi adalah pemilih maupun oposisi hanya memposisikan diri sebagai pendukung dan pengkritik. Maksudnya adalah mereka yang kebetulan menjadi pemilih yang memenangkan kompetisi akan selalu menjadi "hamba sahaya" pendukung setia apapun yang terjadi dan dilakukan oleh yang didukungnya, sebaliknya secara terus menerus membunuh karakter lawan politiknya.




Sejak didirikan Negara Indonesia, bangsa kita sudah memiliki organisasi yang bermacam macam, karena pada dasarnya bangsa kita adalah bangsa yang menyukai bersarikat, berkumpul maupun berorganisasi. Kelebihan ini tentu menjadi kekayaan khasanah budaya serta tradisi yang harus kita lestarikan dan kita jaga. Demikian pula dengan organisasi-organisasi keagamaan yang besar di Indonesia, tak serta merta dibelokkan menjadi organisasi politik yang berorientasi kepada kekuasaan. Hal ini sangatlah destruktif karena organisasi tersebut bertugas melindungi banyak kepentingan dan sumber atau pusat pembentukan karakter bangsa dan kader atau sumber daya manusia. NU dan Muhamadiyah sudah sangat lama memiliki pengalaman serta peran peran sosial yang sangat membantu pemerintah dalam menciptakan kerukunan dan legitimasi negara.




Saat kyai dan santri melakukan kegiatan politik yang membawa bawa simbol dan nama organisasi, maka bisa dipastikan runtuhlah satu sendi ketahanan negara yang kukuh dan berakibat dis-integrasi serta permusuhan atau konflik kepentingan yang mengarah kepada konflik horizontal yang sudah ada sejak jaman dahulu kala. Ini yang saya sebut sebagai kemunduran besar-besaran, yang disadari namun karena ambisi sesaat; sesuatu yang tidak benar dicari carikan pembenaran untuk melengkapi syahwat kekuasaan yang bersifat sangat temporal. Dibandingkan dengan tujuan mulia sebuah negara yaitu terciptanya kedamaian dan keseimbangan.




Untunglah NU dan organisasinya segera menyadari akan "kecolongan" yang dilakukan oleh oknum politisi yang hanya mengambil manfaat pribadi, sehingga isu yang dilancarkan jauh beberapa hari sebelum pengumuman hasil rekapitulasi akan mengerahkan Banser bersama sama dengan tentara menghalau massa yang tidak menerima hasil penghitungan suara versi KPU tidak jadi dilakukan. Kalau NU terpancing, maka kita tidak bisa membayangkan bagaimana NU dan organisasi para ulama dan kyai ini bisa mengembalikan marwahnya yang puluhan tahun dibangun sebagai organisasi yang memiliki banyak mitology serta kesucian yang di sakralkan di dalamnya.




Negara atau pemerintah bisa berubah dan berganti secara dinamis inovasi sistem ketatanegaraannya, namun organisasi kultural banyak dipertahankan keorisinalannya untuk tetap membangun tradisi tradisi yang turun menurun, tak tergerus oleh globalisasi budaya serta identitas global. Politik kyai -santri akan tetap menjadi politik kebangsaan bukan tereduksi dan bergeser menjadi politik kekuasaan yang sarat dengan kelicikan serta  tujuan-tujuan partial yaitu posisi serta jabatan, apalagi kemudahan fasilitas dengan mengorbankan kerukunan bangsa yang dikenal sangat beragam atau masyarakat yang terbiasa dengan pluralisme pilihan.

tamat.




Comments

Popular Posts