CADAR , NIQAB ATAU JILBAB?
Semakin banyaknya trend memakai cadar di Indonesia, ada keprihatinan yang amat dalam pada diri saya, tentang pengaruh perkembangan budaya bangsa Indonesia yang tergerus oleh budaya asing jauh dari peradaban bangsanya, namun demikian perkembangan ini tidak bisa kita larang larang karena kebanyakan dari mereka juga menggunakan dengan penuh keyakinan, yang menjadi hak azazi mereka, perempuan yang akan selalu saya jaga dan lindungi.
Oleh karena itu saya tergerak menulis ini, siapa tau bisa menjadi rujukan perempuan Indonesia lainnya agar melihat perintah dalam alqur ´an secara proporsional, tidak asal meyakini, sehingga mematikan keseimbangan hukum alam yang senantiasa harus bergerak terus ke depan. Niqab dan cadar menurut pendapat kami dan beberapa para ahli tidak terdapat dalam perintah alqurˋan hal ini dapat kami rangkum dalam beberapa bukti dan alasan :
Pertama, Al Qur’an dan sunnah tidak menghendaki masyaqah (kesulitan), Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (Al Baqarah : 185). Contoh Abu Hanifah memberikan toleransi terbukanya kaki perempuan karena jika tertutup akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan aktivitas. Dengan lahirnya profesi - profesi baru yang digeluti wanita, maka ulama’ kontemporer memberikan toleransi pada bagian - bagian tubuh wanita atau perempuan yang tidak dinilai sebagai aurat.
Al Qurthubi menyampaikan pengecualian wajah dan telapak tangan sebagai pendapat yang paling kuat atas dasar ke hati-hatian (makna dari kata : ma dzahara minha), pendapat mufassir salaf ini mengesankan bahwa lebih dari batas itu masih diperbolehkan. Pendapat Imam Hanafi diperkuat oleh ulama’ kontemporer Ali As Sais yang menganggap kaki lebih menyulitkan jika ditutup dari pada tangan, khususnya bagi wanita di pedesaan yang berprofesi sebagai petani, buruh maupun pekerjaan lain.
Anas bin Malik dan Abu Thalhah pernah melihat Aisyah dan Ummu Salim pada perang Uhud bekerja demikian giat memberi minum pasukan muslim dan ketika itu mereka melihat gelang kaki yang digunakan di betis-betis kedua wanita mulia itu (HR. Bukhori-Muslim).
Kedua, adalah pendapat yang berdasarkan atas Ketetapan hukum berkisar pada illatnya, Imam Hanafi berpendapat teks keagamaan dalam bidang ibadah (ta’abbudi) harus difahami secara tekstual apa adanya, sedang dalam bidang muamalah dapat dijangkau tujuan dan maknanya oleh nalar (kecuali ayat ayat Al Qur’an yang bersifat rinci dan Qath’iy). Sedangkan Hadits dalam bidang muamalah sangat terbuka untuk dicari illatnya. Ulama’ kontemporer berpendapat pakaian bukan termasuk ta’abbudi tapi terkait dengan muamalah dan tradisi yang bisa dicari illatnya.
Al Asmawi memahami ayat Al Ahzab 53 (tentang perintah mengulurkan jilbab) adalah dalam rangka membedakan dengan wanita budak atau wanita yang tidak terhormat, sehingga muslimah merdeka bisa dikenali dan tidak mendapat gangguan dari orang - orang yang durhaka. Illat hukum dalam hal ini agar wanita merdeka dapat dikenal dan dibedakan dari wanita budak, sebagai buktinya ketika Umar bin Khottob melihat wanita budak menggunakan penutup muka atau mengulurkan jilbabnya, beliau mencambuk (mengingatkan) wanita itu. Karena saat ini yang menjadi illat (budak) sudah tidak ada maka ketetapan hukum untuk membedakan wanita dengan budak sudah tidak berlaku lagi.
Ketiga, adalah alasan mengenai Tradisi yang mempunyai peranan besar dalam ketetapan hukum, Syaikh Muhammad Su’ad Jalal (Al Azhar), berpendapat bahwa yang menjadi dasar dalam menetapkan apa yang boleh ditampakkan dari hiasan wanita adalah apa yang berlaku dalam adat kebiasaan suatu masyarakat, tentunya dalam batasan koridor tetap tegaknya nilai etika dan kesopanan dalam beragama. Jika dalam suatu masyarakat membuka setengah lengan dan betis tidak mengandung fitnah dan rangsangan maka bagian badan itu boleh dibuka dan ditampakkan, seperti wanita wanita yang bekerja di perkebunan, perindustrian, perkantoran, model dan lain sebagainya.
Al Asymawi juga pernah mengutip tafsir Al Qurthubi bahwa asbabun nuzul ayat ini (An Nuur : 31) adalah karena wanita - wanita di jaman Nabi menutup kepala mereka dengan kerudung dan mengarahkannya ke punggung sehingga bagian leher dan dada tanpa penutup, maka ayat ini memerintahkan agar menjulurkan kerudung ke arah depan. Mantan hakim agung Mesir ini berpendapat illat ketetapan hukum ayat tersebut adalah pengubahan tradisi yang berlaku pada masa turunnya ayat itu, jadi tujuan ayat ini adalah menutup dada bukan menetapkan mode pakaian tertentu. Disamping itu ayat ini bermaksud untuk membedakan wanita muslimah dengan non muslim (yang ketika itu membuka dada mereka). Kesimpulannya hal ini merupakan ketetapan hukum sementara pada saat itu yang menghendaki pembedaan/pemisahan dan bukannya ketetapan hukum yang bersifat abadi atau sepanjang masa.
Sebagian ulama lain menganggap ayat hijab ataupun jilbab ini tidak tegas mengandung perintah untuk menutup seluruh kepala, menutup sebagian kepala sebagaimana muslimah di Indonesian sudah memenuhi tuntunan ayat ini. Seperti perintah membasuh kepala ketika berwudhu (Al Maidah : 6), ulama berbeda pendapat apa sebagian atau seluruh bagian kepala yang dibasuh. Dalam hal jilbab, Ibnu Asyur menyampaikan: ”Cara pemakaian jilbab berbeda beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita yang dijelaskan oleh adat istiadat.
Dalam konteks pakaian terhormat beberapa ulama’ menyimpulkan maksimal yang boleh ditampakkan yaitu leher ke atas, setengah lengan dan setengah betis. Hal ini didukung dengan hadits dan makna penekanan Allah (An Nuur : 31) pada pemakaian kerudung yaitu dalam rangka menutup dada bukan menutup rambut. Tidaklah diterima shalat seorang yang telah dewasa kecuali dengan memakai khimar (kerudung)” (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah), Hadits ini hanya berlaku dalam shalat dan tidak secara tegas menunjukkan aktivitas diluar shalat.
Dan terakir adalah pandangan dalam konteks sosiologies - Anthropologie bahwa niqab, cadar, jilbab, kerudung dan sorban adalah budaya, bukan perintah dalam alqur‘an Jilbab atau hijab bukanlah kewajiban agama dalam Islam, ini dibuktikan pertama sejak dulu agama agama lain juga punya tradisi yag sama yaitu berhijab, bahkan disebutkan dalam kitab yahudi dan bibel Qoritus surat 10 ayat 11 sampai 13, tentang perintah memakai jilbab di jalan jalan untuk keamanan perempuan oleh karena tidak ada kepentingan agama atau nilai moral yang harus diberikan kepadanya, pemahaman ini harus dilihat dari banyak segi tidak cuman teologis, jilbab juga ada dalam teks hukum Asyur sebelum abad ke 13 SM.
Dalam sejarah mencatat bahwa elit dan imam orang Yunani, Romawi, Zoroastrian, Yahudi dan Arab pagan mengenakan jubah, hijab, naqib dan kerudung pada kaum perempuan mereka sebagai tanda kehormatan dan status tinggi. Bukan hanya agama Samawi yang anda anggap sebagai langit, lah bumi ini juga bagean dari langit, planet planet lainnya, kalau berbicara soal agama jangan lah dibiasakan mengecam bahwa yg kuliah di luar negeri atau Eropa tidak pula mendalami agama, agama itu bukan tatacara formal belaka, namun ketertundukan, termasuk makna hijab secara filosofis , budaya bahkan sejarah manusia.
Dicontohkan saja kemudian di agama Hindu di India juga mempraktekkan bentuk jilbab yang disebut ghoonghat sama dengan bentuk kepercayaan pada kebanyakan tradisi Yahudi, bila seorang istri tidak memakainya mereka akan dikutuk suami , karena diyakini bisa mengundang kemiskinan ke dalam rumah. Demikian pula dalam tradisi Kristen, seorang wanita tanpa penutup kepala mencemarkan kepalanya dan disamakan dengan rambutnya yang dicukur. Pada Abad Pertengahan, Eropa dan kebanyakan bangsa kerajaan mengenakan jilbab dengan atau tanpa tutup kepala. Beberapa sekte Kristen di Barat, Afrika dan di Timur Tengah masih menggunakan jilbab sampe sekarang, bahkan teman kos saya saat dapat tugas di vatikan memakai jilbab saat beribadah.
Comments