Probabilitas Mengurai Entitas Fiktif



Kita ini selalu saja terjebak pada kualitas standart pemahaman yang sepotong sepotong, makanya ketika bicara soal filsafat talk ( Philosophy of talk ) sebagai satu contoh dari fiction philosophy, pikiran kita mengawang awang pada sebuah makna fiksi yang dipahami dalam karya sastra atau short story fiksi yang tidak ada kaitannya dengan standart ilmiah dan fakta. Bagi saya fiksi ilmiah juga sebagai bentuk menjelaskan entitas probabilitas dalam karya fiksi, demikian pula dengan imanensi kitab suci. Gak ada yang salah bila seorang filosof berpikir demikian, karena memang dia sedang menjelaskan arti fiksi dalam konteks filsafat talks, bukan filsafat agama.


Makna fiksi, bukan berarti tidak ada. Penguasaan kata fiktif akan berbicara seperti kita memahami beda butiran pasir dengan garam yg ditulis oleh filosof Holmes dan karya karya Hamlet, mereka tidak mengakui suatu perasaan di mana sebenarnya ada benda-benda fiktif. Antara pasir dan garam yg sama sama material, namun bisa dirasa dan tidak. Realis fiksi, di sisi lain, akan berpikir bahwa secara harfiah benar bahwa ada objek seperti pasir yg berasa asin, namun realitasnya tidak demikian bahwa material pasirlah yg asin bukan?. Fiksi juga berarti pengetahuan masa datang yang di gambarkan secara sederhana oleh imaginasi manusia.


Bahwa kemudian entitas fiktif memiliki sifat tidak ada. Tidak realistis, dan imanent mungkin karena memahami makna realis fiktif adalah satu-satunya yang berpikir bahwa tidak adanya entitas fiktif yang ditentukan oleh sifat mereka sebagai entitas fiktif. Sama halnya kita berbicara soal kemungkinan tidak adanya agama sebagai unsur koheren memahami kebenaran mutlak itu tak bisa satu. Oleh karena itu yang bisa menjawab fakta realitas lain dari klaim fiksi adalah probabilitas, yang oleh Albert Einstein diteorikan dalam filsafat alternatif dan relativity.

Para filosof melihat bahwa relativisme dipakai untuk memenuhi kekosongan logika, yang pada awalnya menjadi primadona pemikir abad moderen, bahkan Rorty banyak di kutip oleh penulis tahun 80 an sampe 90 yang banyak membahas soal miror of nature, epistemologi dan kreativitas atas kepastian akhir pengetahuan. Contoh tokoh tokohnya bisa kita sebut seperti Kant, Descartes, Locke di abad ke duapuluhan.

Padahal kita tau Epistemology sendiri tidak tergantung pada ilmu ilmu empirik. Contoh kita bisa melihat visi sejarahnya Hegel dan representasinya Heidegger. Sejarah tidak semata mata ilmu faktual yang tidak di bumbui oleh politik dan kepentingan sejarawan bahkan tafsir tafsirnya.  Demikian pula probabilitas kebenaran sejarah tak bisa dipungkiri adanya entitas fiktif di dalamnya.

Adanya banyak masalah dalam memahami di mana letak imaginasi dan pemikiran yang intuitif juga menjadi kendala bagi manusia moderen. Hitungan hitungan cermat bisa saja di kalkulasi oleh gambaran yang sederhana dan matematis. Tapi bisakah kita menggambarkannya hanya dalam satu skala saja. Ukurannya bisa saja berubah rubah, namun tetap diangka yang sama saat bertemu koordinat X atau Y.

Permasalahannya adalah saat etika berpengaruh kepada perilaku manusia, maka hukum di sebuah negara selalu di undang undangkan tapi sebaliknya hukum yang seharusnya tidak mempengaruhi etika dalam masyarakat atau tradisi malah  justru akan berpengaruh begitu saja, dapat di ambil contoh seperti pengambilan kebijakan kebijakan negara yang seharusnya melampaui perilaku komunal, justru biasanya di tarik langsung dari kebiasaan kebiasaan, bukan kebutiuhan yang di sediakan untuk mempertimbangkan ke depan, suatu saat kebutuhan atas aturan tersebut bisa terpenuhi dengan segera.

Fiktif- historik bisa saja tidak ilmiah, namun minimal sebagai metodologi awal berpikir, di dataran ide-ide radikal bisa memunculkan probalitas baru dan mempengaruhi cara berpikir masyarakat pada masa yang akan datang. Bukankah banyak juga otak kita terilhami oleh karya novel yang imaginer dan menghasilkan standar moral baru dan ide ide baru manusia?

Comments

Popular Posts