Reformasi 1987-2020 ( Catatan Pinggir )
Sebenarnya yang kita mau soal perubahan itu yang bagaimana? total liberalismekah? bahkan saat ini demokrasi dimaknai sangat permisif, bagaimana tidak ? disaat barat khususnya ex medieval politics mulai terganggu dengan sebutan hiper liberalisme constitution. Indonesia sangat mengidolakan datangnya era hiper liberal constitution. Kita tau saat reformasi mulai membuka pintu konstitusi liberal lebih berkembang dibandingkan konstitusi Islam yang berada dalam ruang inkubator.
Awalnya saya tau ini sejak pertama Gus Dur ingin menjadi Presiden, sejak itu pula gerakan gerakan mahasiswa begitu solid, bahkan sejak semester satu pada masa itu sudah sangat hapal dengan teori teori Marxisme, Capitalism, bahkan sampai Komunisme. Tujuannya satu equal by human rights and justice. Issu diktatorship dan KKN era Soeharto hanyalah bidak issu buat menggelindingkan perubahan kearah new liberalism constitutional states.
Sebenarnya mau berubah kemana?
Indonesia mengalami beberapa kali perubahan konstitusi, dari tahun 1945 sebuah konstitusi revolusioner kontemporer, sudah terjadi bahkan cenderung kepada ekspresi konstitusi yang sangat debatable. Presiden Soekarno banyak mempengaruhi ide ide perubahan trutama awal pemikiran liberal konstitusi hingga awal 1966 di mana sosialisme mulai banyak mempengaruhi politik dunia, Namun kita mencatat konstitusi federal 1949, pernah menemukan intuisi perubahannya ketika, situasi politik parlemental begitu sarat gesekan, hingga di tahun 1950 konstitusi sementara, sebuah konstitusi yang lebih demokratis, mulai muncul dan mengalami perubahan ke arah kestabilan politik, dan menempatkan karakter konstitusi mengarah kepada akar budaya bangsa, yaitu kerakyatan dan semangat gotong royong.
Sebenarnya dalam konteks konstitusi, pilihan konstitusi pada era orde baru cukup merepresentasikan perubahan kearah kodifikasi hukum lokal, lokalitas dan akar bangsa yang tidak terlalu ke kanan atau tidak terlalu ke kiri, namun issu perubahan pada masa reformasi yang sebenarnya berniat sangat bagus dalam membuka kran politik lebih terbuka dan transparan tersebut, malah melemahkan nilai nilai tradisi konstitusi bangsa kita yang menjunjung tinggi makna kerakyatan yang adil dan beradap ( tengahan ) malah merubahnya ke arah new liberalisme constitution. Hampir sama ketika perubahan konstitusi amerika, di mana pre construction beralih ke new constitution yaitu total liberal constitution.
Over Lapping of Constitution
Sebenarnya ini bukan tulisan yang rigour, hanya catatan pinggir saja, yang ingin saya komunikasikan secara rileks pada beberpa teman di DEVELOPMENT STUDIES agar mengenal lebih dalam soal arti perubahan, agar tak tampak extremely melihat perubahan itu mesti ke arah liberal. Bahkan syarat demokrasi dalam negara hanya dicantumkan tiga hal saja yang utama, yaitu terlaksananya faktor faktor demos, cratos dan sovereign. Bahkan mereka tidak meyebutkan konsep konsep yang berkembang sebelumnya seperti Aristocracy, Oligarchia, Monarchy dianggap tidak bisa menciptakan proses proses yang egalitarian dalam bernegara. Itulah politik yang sangat cair dalam melakukan perubahan kemana saja rakyat menghendaki, karna konstititusi itu adalah proses masyarakat menerima dan belajar.
Kalau negara memang menghendaki liberal constitution untuk mengisi perubahan konstitusi dalam reformasi negara, imbangannya sebaiknya ada dua hal yg dikomunikasikan dalam perubahan sistemnya. Pertama, setidaknya mereka harus menerima dua saja posisi partai dan kekuatan politik. Negara harus bisa menerima dua element ini, bukan tiga element yang menempatkan wilayah abu abu, bahkan lebih dari tiga seperti multi partai sistem, ruang politik menjadi tidak jelas. Kecuali negara hendak kembali ke UUD 45 yang murni, di mana keterwakilan tidak dilakukan secara langsung. Kedua, konsep new Federalisme dalam sistem sosial, Politik dan Ekonomi ( ini perlu penjelasan yang panjang, agar tidak miss understanding dengan kata NKRI harga mati yang sebetulnya berbeda itu )
Menerima dua kubu; posisi liberal di usung oleh partai sekulair dan posisi societal diusung oleh partai Islam. Akan lebih jelas dan menemukan kelaminnya. Toh itu cuman didataran pilihan pilihan recruiting calon pemimpin. Ketika sampai pada dataran tatanegara, Indonesia tetaplah menggunakan simbol Pancasila dalam aturannya. Cuman masalahnya masyarakat politik kita hanya berhenti terus pada soal recruited kemudian berkelahi sepanjang hidup, sampai datangnya kembali pemilihan umum. Padahal sejatinya pilihan pilihan ( dikotomi ) itu hanyalah pola saja untuk berseleksi, ibaratkan orang 'bertarung' butuh lawan tarung. Kalau tidak mau 'bertarung' ya cari kesepakatan dalam bentuk GOLPUT. Masalahnya sumbatan politik dan kesadaran rasionalitas pemilih masih sebatas idiologis, bukan dialogis. Sehingga pembangunan dan proses demokrasi tidak mampu dilanjutkan kearah yang lebih tinggi.
Tidak menerima dua kubu? berarti logikanya kita harus mengembalikan azaz azaz permusyawaratan untuk rakyat ( sila ke empat dari Pancasila, sistem pemerintahan parlementer ) yang menitik beratkan politik pada komposisi Parlementer bukan Presidential menjadi sistem ketatanegaraan kita, ini berarti kita kembali ke Orde Baru, yang sudah kadung menjadi momok sejarah demokrasi Indonesia, Apa kita masih mau? Tentu pilihan ini akan lebih sulit.
Perubahan ini memang harusnya sama sama dibicarakan pada seluruh komponen bangsa, agar isu isu partial seperti minoritas mayoritas tak lagi menjadi tirai tirai tabu, yang malu malu mengakui namun sebenarnya sama sama ingin mengarahkan kita pada total liberalisme constitution. Nah kalau hak minoritas ditumbuh kembangkan menjadi imbang ke arah scale of majority, kan sama saja akirnya apa yang dimaknai mayoritas dan minoritas itu. Pertanyaanya menjadi gak ada bedanya mayoritas dan minoritas dalam konteks constitution of states dalam sebuah negara yang demokratis. Karna keduanya menyumbangkan politik kepentingannya masing masing. Jadi siapa dan apa sebenernya perubahan itu?
Comments