Pandemi dan Politik



Sudah hampir satu tahun pandemi Corona virus ini tinggal dan menyakiti rakyat Indonesia. Mengapa sangat menyakitkan karena kehadiran penyakit ini penuh dengan intrik politik dan penanganan yang aneh. Terutama melihat respon yang tak wajar dari para penggiat sosial media yang menutup mata seolah-olah keluhan dan penderitaan rakyat yang menggeliat dianggap sebagai ancaman yang akan meruntuhkan kewibawaan negara, yang selama ini sudah tidak berwibawa karena perilaku birokrasi pemerintahan yang berlebihan, feodal dan didukung oleh pendukung-pendukung yang anti kritik ( resisten )

Mengapa saya bicara demikian, karena selayaknya pandemi ini dilihat dari perspektif bencana, penyakit, bukan politik. Meskipun dampaknya juga akan berakibat pada persoalan ekonomi, toh rakyat Indonesia sudah sekian lama menderita akibat kemiskinan yang sangat dalam. Banyak hal-hal yang tak tersentuh secara manusiawi bila kita melihat bencana dari kaca mata politik.

Pertama,  kalau negara tidak bisa hadir karena keterbatasan anggaran; minimal jangan perkeruh psikology rakyat dengan menganggarkan beaya-beaya yang tidak ada hubungannya dengan penanganan pandemi ini, lebih-lebih satgas yang bekerja ditingkat administratif dan keamanan prosedural. Banyak sekali rakyat yang membutuhkan penanganan secara cepat dengan keterbatasan tempat isolasi yang ada, terpaksa rumah sakit-rumah sakit umum tidak bisa melayani sebagaimana mestinya. Bahkan banyak tergeletak rakyat disana-sini dengan kondisi yang sama, susah bernafas.

Bisa dibayangkan, bagaimana masyarakat dengan kondisi yang sangant minim informasi, dan tidak memiliki kemampuan keuangan? mereka tentu tidak mampu membeli alat bantu pernafasan oksigen yang seharga 1 juta 400an, belum isi ulangnya. Bagaimanapun ini tanggung jawab negara. Negara tidak bisa cuci tangan dengan dalih bahwa di negara lain juga sama, ini penyakit global. Tidak, tidak bisa begitu. Ya, ini penyakit global, tidak pandang bulu, setiap orang bisa kena, tapi saya tidak sedang membicarakan eksistensi Corona, namun cara bijaksana yang bisa dilakukan oleh siapa saja terutama Indonesia.

Apalagi sangat memalukan bila mengerahkan tenaga sosial media untuk ikut menegakkan kewibawaan pemerintah dengan kurang simpati dan empati. Negara itu sudah kokoh tanpa ada bantuan buzzer keliling yang menjadi publik relation ( PR ) menangani pandemi. Rakyat tidak butuh itu, rakyat tidak butuh omongan. Rakyat membutuhkan dua hal : bantuan pre isolasi ( seperti obat obatan sementara untuk meningkatkan imun dan treatment seperti alat bantu pernafasan, regulator dan oksigen ). Ini penyakit baru, tidak semua masyarakat tau dan terdidik bagaimana menangani.

Akibat kurang terbukanya informasi, masyarakat yang rendah informasi serta hukuman sosial terjadi dikalangan rakyat. Tidak ada penyakit yang tabu, mengapa harus malu. Penyakit itu harus disembuhkan dan diberi rasa empati yang tinggi. Tidak penting itu dana milyaran untuk penyelenggaraan pemilihan daerah, kalau rakyatnya sakit. Tidak berarti itu kebijakan-kebijakan ekonomi yang muluk-muluk, kalau rakyatnya rapuh, penyakitan. Negara tidak boleh diam, harus segera hadir di tengah-tengah pandemi nasional yang sudah berbulan-bulan mendera, hanya menunggu waktu kapan virus itu menghampiri kita semua satu persatu.

Coba kita lihat apa yang sudah dilakukan oleh negara? selain perdebatan politik di sosial media, gonta-ganti panitia pandemi, dari gugus tugas sampe ke satuan tugas, dari di bawah kemenkes sampe di bawah kordinator kementrian BUMN, dari komando Presiden sampe badan intelegent, Hai ini tidak sedang perang bro dan bencana alam, tapi becana penyakit berupa virus, pandemi. Virus yang tidak tau berasal dari alami atau kebocoran teknologi, yang pasti dampaknya sangat luar biasa.

Dari sejak pertama kehadirannya memang sudah banyak orang menaruh curiga, bila tidak bisa dilepaskan dari campur tangan elit global, banyak bukti-bukti yang bisa dicari sendiri di media dan Google, soal virus ini, bahkan secara tidak sengaja saya menonton filem the Bairut yang di produksi tahun 2018 di Amerika, di dalam dialog naskah filemnya sudah menyebut soal pandemi CORONA sebagai perang biologis dan dikaitkan dengan terorisme. Meskipun saya sadar kita tidak boleh bodoh memamah informasi beginian untuk dijadikan alasan adanya teori rekayasa global. Jauh, jauh dari cara berpikir saya.

Justru yang saya pikirkan adalah, tentang pentingnya research-research ilmu pengetahuan dan kedokteran Indonesia yang semestinya kita benahi, dengan adanya peristiwa pandemi ini. Saat inilah Indonesia seharusnya meletakkan 50% nafsu paradigmatisasi politik di segala lini, dan kembali kepada  nafsu pembaharuan dan Ilmu pengetahuan. Bukan kembali ke agama dan politik agama. Agama itu cukuplah sudah di urusi secara internal pribadi-pribadi atau institusi keagamaan masing-masing. Negara tidak boleh lagi terjebak pada isu global yang diusung oleh Amerika dan kawan-kawannya untuk selalu mengembalikan tingkat pengetahuan kita dan bernegara pada sejarah era masa silam soal krisis agama. Agama sudah eksis dan tak akan pernah mengalami krisis, membicarakannya akan selalu membuang energi dan tidak ada hasil yang bisa membantu kemajuan sebuah negara.

Kedua, kalau kita berpikir maju tentu kita akan memahami bahwa negara itu sudah eksis, tak perlu ada pasukan pembela negara. Negara itu milik kita semua, dari sisi manapun mereka menilai adalah hak yang sudah dilindungi oleh konstitusi. Menyapih Pemerintah dari pola-pola dukungan akan membuahkan rezim yang kuat. Karena mereka yang hendak menjadi pemimpin negeri akan berpikir bahwa menjadi Pemimpin rakyat, Presiden , Wakil rakyat itu tidak murah, tidak mudah atau gampang. Tidak murah bukan berarti karena harus ditopang dana yang besar, modal yang besar; Tidak murah karena bila mereka tidak bisa, tidak mampu harus segera digantikan yang mampu.

Pola feodal tidak layak berkembang di negara demokrasi, setiap rakyat memiliki tanggung jawab membesarkan negara, dengan duty dan responsibility yang tinggi melahirkan rezim dan pemimpin yang hebat dari waktu kewaktu. Sehingga cita-cita menjadi negara yang besar cepat terlaksana. Kalau pemerintah dimanja oleh rakyatnya apalagi cuma penggemarnya, sekelompok pendukungnya, habis sudah keinginan besar itu. Mereka akan mencetak rezim yang korup setiap zamannya, otoriter, feodal dan oligarch sejalan dengan nasib rakyat yang akan terus bodoh, miskin dan menjadi budak-budak suara yang tidak lagi merdeka.

Kembali pada masalah Corona, hal-hal yang sederhana bisa dilakukan oleh Pemerintah kepada rakyatnya adalah segeralah memberikan proteksi pertama, karena Corona sudah masuk ke kluster-kluster keluarga, maka tidak penting lagi kebijakan administratif, namun harus masuk langsung ke operasional, dengan membagi-bagi kan booster serum strain microba yang sebetulnya cukup membantu. Mensubsidikan alat bantu pernafasan, per-rumah-rumah, seperti dahulu membagikan tabung gas subsidi. Dan terakir mungkin dengan cara memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat, terutama di daerah-daerah dari pejabat daerah yang bertanggungjawab di wilayahnya masing-masing; bagaimana melakukan treatment bila gejala penominia itu  muncul. Seperti informasi bernapas perlahan lahan melalui hidung dan keluar melalui mulut, dengan bibir menyatu seperti sedang meniup lilin dengan lembut, kemudian duduk tegak di kursi rilekskan bahu, tidak membungkuk tapi sedikit condong ke depan - dorong tubuh dengan meletakkan tangan di atas lutut atau di atas sesuatu yang stabil seperti kursi dan terakhir himbauan untuk mencoba  tidak panik jika merasa sesak karena ini bisa memperburuk keadaan dan sebagainya. Semua informasi-informasi yang membantu secara medis.


Comments

Popular Posts