Bioweapon Covid 19, Business of Global Trust




Sudah diprediksi sejak pertama kali kemunculan virus covid 19 adalah rekayasa genetika, oleh beberapa negara sebelumnya disinyalir telah mengembangkan teknologi biology-kimia (Biokimia ) baik Amerika maupun China.

Sepertinya teori konspirasi di kedua belah pihak belum benar-benar memberikan bukti yang menarik bahwa SARS-CoV2 adalah merupakan pandemic yang disebabakan oleh faktor alami, namun akhir-akhir ini muncul tulisan bahwa virus tersebut tidak hanya diproduksi di laboratorium Wuhan China saja, tapi di AS,  atau di Hogwarts School of Witchcraft dan di Wizardry juga.

Ada beberapa catatan media disinyalir juga mengembangkan uji coba genetika dan virus SARS-Cov2 dan memang bukan semata-mata alami sebagaimana tulisan saya di seri Covid 19 sebelumnya. Bukti yang real adalah menimpa diri saya sendiri, soal kapan pertama kali SAR-Cov 19 itu pertama kali muncul. Media mengatakan sekitar bulan maret 2020 tahun lalu, tapi saya terpapar yang pertama kali di bulan Desember 2019 di Jerman. Dan saya mendapatkan obat berbentuk pil, hitam empat butir diminum sekali minum oleh teman yang berasal dari China.

Sesudah akhirnya terpapar kedua kalinya saat pulang ke Indonesia di bulan November 2020 setelah meninggalnya Ibunda karena Covid 19. Bukti yang kedua adalah virus yang alami tidak secepat itu mengalami mutasi varian, beberapa buku yang pernah saya baca mengatakan bahwa mutasi virus membutuhkan waktu yang lama hingga puluhan tahun.


Pada tahun pertama munculnya pandemic ini, banyak para ahli kesehatan sangat hati-hati memberikan statement tentang rekayasa genetika virus Covid 19; pertimbangan ini berawal kemungkinan karena Pemerintah Indonesia secara bilateral sangat dekat kepada China ketimbang Amerika khususnya pada masa rezim Jokowi. Kemudian di tahun kedua, pandemic tidak juga berlalu bahkan muncul beberapa varian baru virus, seperti strain B.1.617.2 atau dikenal dengan varian Delta. 

Varia Delta disinyalir lebih cepat menyebar dan menularkan, muncul pertama kalinya justru di Eropa khususnya London. Dan kemudian menyebar dengan cepat ke India hingga Indonesia. Saat artikel ini dibuat, Indonesia masih memegang rekor tertinggi nomer satu sedunia kasus Covid 19 bahkan menjadi epicentris pandemic dengan jumlah kematian yang semakin meningkat.


Sejak awal munculnya Covid 19 di bulan Maret tahun 2020, penulis sudah menuliskan di media tentang dampak yang besar di tahun kedua, namun pada saat itu Pemerintah Indonesia terkesan sangat mengetengkan masalah. Bahkan cenderung menanggapi pandemic yang menyebar di negara tetangga sebagai guyonan.

Pandemi tersebut disebut tidak mungkin menimpa Indonesia, dan mirisnya lagi itu di ungkapkan oleh banyak menteri-menteri pemerintahan Presiden Jokowi sendiri, Sangat aneh buat saya yang akademisi melihat fenomena birokrat kita yang unscientiest, apalagi pernyataan-pernyataan mereka cenderung blunders dan membodohkan rakyat yang seharusnya di tahun pertama itulah pemerintah harus prefentif melakukan sosialisasi dan proteksi. Alih-alih mengutamakan ekonomi, pernyataan pemerintah tidak konsisten dengan aturan dan kebijakan yang dibuat dengan hanya merubah-rubah nama lain lockdown, namun esensinya hanya ingin menghindari kewajiban.


Dan sudah bisa ditebak bahwa minimnya sosialisasi sejak dini ditambah dengan minimnya support pemerintah kepada research, mengakibatkan Indonesia tidak bisa bersaing dengan negara-negara lain dalam penanganan pandemi maupun vaksinasi, kecuali hanya membeli produk Sinovac dari China, yang negara Chinanya sendiri tidak memberikan vaksin tersebut kepada rakyat China. 

Pilihan trust bisnis vaksin itu sempat menjadi perdebatan opini karena belum mengatongi lisensi oleh WHO pada waktu itu. Indonesia tetap ngotot untuk membeli vaksin dalam jumlah yang cukup besar meskipun efikasinya dibawah 70%. Jelas kesehatan tidak bisa disamakan dengan bisnis di bidang yang lain, dimana keuntungan berbanding lurus dengan kenaikan ekonomi. Karena kesehatan sangat berhubungan dengan trust, khususnya trust penanganan dan pemilihan vaksin. Banyak sekali kasus gagal atau meninggal dunia paska vaksin namun tertutupi oleh banyaknya kasus meninggal karena terkena Covid itu sendiri.


Rasionalitas masyarakat akhirnya berpikir bahwa lebih baik memakai vaksin dari pada tidak sama sekali. Karena akan lebih ringan bila terpapar SAR-Cov 2 ketimbang yang tidak memakai. Kita tidak lagi berpikir dan mengetahui hasil empiris pemakaian vaksin dengan penelitian lebih awal soal dampak yang ditimbulkan dan resiko lainnya. Sebagaimana tulisan Naomi Oreskes tentang mengapa kita percaya pada science, pertanyaan ini sama saat kita menjawab mengapa kita sedari awal mempercayai Covid 19 sebagai penyakit, virus dan berakibat pandhemis, disaat pemerintah tak meyakininya; Apakah itu berarti rezim saat ini memang anti ilmu pengetahuan? 

Mengambil kata-kata Soejiwo Tedjo, bahwa Pemerintah itu berjodoh dengan rakyatnya. Ini artinya bahwa jangan semata-mata menyalahkan mereka, kalau pemerintah pun tidak mempercayai science karena rakyat Indonesia juga lebih dari tidak percaya science, buktinya dokter Louis juga rejected kematian yang diakibatkan oleh virus namun komplikasi obat, apalagi masyarakat awan yang sangat sederhana cara berpikirnya dan cenderung klenik. Bahkan ada pejabat selevel menteri menemukan obat penangkal SAR-Cov 19 dari bertapa selama 40 hari, bukan menemukan obat dari research kimia dan laboratorium.


Naomi melakukan penelitian yang menarik tentang rendahnya kebijakan pemerintahan Trump di Amerika Serikat yang tidak seirama dengan trust scientific dari kondisi-kondisi yang objektif di negaranya; Dia juga mengungkapkan tentang pengalihan yang efektif atas isu isu dan karakter mengenai debat public tentang kebijakan dan perubahan yang cenderung skeptic. Awalnya ia meneliti soal alam dan iklim dalam beberapa kasus; bahwa pertanyaan yang luar biasa skeptic pada bukti-bukti ilmiah yang kredibel itu berasal dari sifat anthropogenic atau sifat campur tangan manusia atau aktifitas manusia baik yang static maupun dinamik.


Bisa jadi wabah covid 19 memang merubah trust bisnis global, terutama dalam bidang kesehatan. Sebagaimana kita mempercayai masker dapat melindungi dari persebaran atau terpapar virus. Demikian pula bisnis youtuber, online sampai pada pendidikan online menjadi tak terhindarkan lagi. Manusia menjadi sangat lambat dan memiliki distancing social yang tinggi dari hari ke hari, Hidup dengan gadget dan isu yang sangat cepat berubah dan menyebar setiap saat.








Bersambung--

Comments

Popular Posts