Politik `Terserah saja apa kata Bib Lutfi` Buntut dari Kemenangan Paslon 02, Merusak ataukah wajar?

 

Bagi sebagean orang khususnya Masyarakat yang tinggal di basis tapal kuda khususnya wilayah pesisir Pekalongan, fenomena nderek Habib Lutfi dalam memilih paslon di setiap pemilihan umum adalah hal yang wajar, hingga banyak ungkapan kalau ingin menang siapa paslonnya ikut aja siapa yang di dukung Habib Lutfi. Bisa kita lihat kunci kemenangan Jokowi dua kali sebagai Calon Presiden di 2019 atau 2014, juga jangan lupa kemengan Anis Baswedan sendiri ketika melawan Ahok sebagai Calon Gubernur di Jakarta. Habib Lutfi adalah salah satu tokoh agama yang jamak dari sedikit tokoh-tokoh agama lain yang bisa di searching google yang ada di Nusantara, yang bisa menjadi rujukan beberapa politisi yang hendak mencalonkan diri menjadi pejabat baik di tingkat daerah maupun nasional.

Tulisan ini hanya sekedar memberi tanggapan atas tulisan Ulil Absar yang ada di media kemarin dengan perspektif yang berbeda dari kaca mata intelektual yang sama-sama mengenayam pendidikan barat. Bagaimana kemenangan Pasangan Prabowo – Gibran mengeruk kemenangan versi quick count atau perhitungan sementara, bukan semata-mata di curigai karena beberapa kecurangan masif melalui politik uang, pemberian sembako bahkan cawe cawe Presiden Jokowi sebagaimana kita tau dan lihat teman Dandhy Dwi Laksono secara kreatif merangkumnya dalam filem singkat dokumenter nan apik dan faktual dalam the dirty vote. Akan tetapi saya akan memberi gambaran bagaimana kemenangan itu juga dipengaruhi oleh politik agama yang di mainkan oleh beberapa tokoh agama seperti Habib Lutfi ini. Apakah politik agama ini salah? Ya. Apakah politik agama ini bagean juga dari praktek praktek yang dikategorikan brutal sebagaimana gambaran dari dirty vote? Ya. Apakah pengaruh tokoh tokoh agama khususnya di kalangan NU ini besar pengaruhnya terhadap kemenangan Pemilu disetiap perhelatan pesta demokrasi ? saya jawab lagi Ya. 

Politik agama yang beberapa kali saya tulis di media bahkan salah satunya pernah di muat di media local di Jerman, mensiratkan bentuk bentuk politik kompromi transaksional kultural antara tokoh-tokoh Masyarakat yang berpengaruh dengan actor ataupun elit politik yang sedang berkompetisi. Politik agama tidak hanya melulu tentang teori teori yang mencampurkan teori agama dengan politik menyangkut ideologi pemerintah maupun propaganda-propaganda keagamaan yang begitu kuat sehingga dikatakan mempunyai kekuasaan yang setara antara agama dengan negara bahkan mungkin menjadi satu. Akan tetapi politik agama bisa jadi adalah fatwa-fatwa politik yang sekarang ini sangat tampak vulgar dan tidak ditutupi. Pada masa lalu mungkin kedatangan tokoh agama seperti Habib Lutfi di GBK tempat kampanye akbar pasangan Prabowo-Gibran tidak pernah terjadi, karena mereka tidak setransparan dan sebrutal itu memihak Paslon. Bisa jadi di tempat-tempat tersembunyi yang jauh dari sorotan media, di rumah-rumah pribadi metreka saat mereka didatangi. Namun pada Pemilu 2024 saat ini fenomena pergeseran fungsi-fungsi budaya, tradisi, etika bahkan mungkin kode etik sudah semakin modern dan terbuka. Fatwa spiritual tidak lagi dianggap tabu tapi transaksional. Spiritualitas politik artinya memihak kepada siapa yang diuntungkan dan menguntungkan.

Dengan demikian apakah rakyat Indonesia memang sudah berubah? Thomas Jafferson mengatakan bahwa mereka yang bekerja di bumi, merekalah pilihan Tuhan. Ronald Reagen menyebutnya `Devine Mission`. Presiden Bush juga membawa pertikaian perang Iraq pada debat-debat pemilihan Presiden pada waktu itu. Menarik kembali Sejarah kelam masa silam sejak 1700 tahun Masehi dimana imigran di Amerika berasal dari dominasi masyarakat puritan yang tergerus oleh koloni ethnic, cultur bahkan agama yang simplistic terhadap determinasi agama secara tekstual. Di Jerman sendiri kita tau sejak perang dunia kedua sangat aktif melakukan pendidikan ulang atas sejarah kelam politik mereka soal rasisme, nasionalisme bahkan imperalisme dan saya melihat cukup berhasil upaya Pemerintah Jerman tersebut dari waktu ke waktu untuk membaca ulang Sejarah mereka agar tidak terjebak kembali kepada politik agama.

Salah satu ciri yang bisa kita lihat bagaimana rusaknya politik agama adalah praktek-praktek money politik yang dianggap `halal` secara politik maupun etika. Praktek-praktek money politik ini jamak dikalangan pesantren yang mendapat kucuran dana cukup besar bahkan ini sudah viral bisa di cari di media social bagaimana team kampanye bahkan calon wakil presiden pasangan calon tertentu membagikan tumpukan uang di masa kampanye.

Bukti-bukti money politik tersebar Dimana-mana, tapi bagi Bawaslu fenomena money politik di Indonesia yang merusak tatanan demokrasi itu tidak lebih menarik untuk diproses ketimbang laporan-laporan receh yang berhubungan dengan UUITE. Contoh lain yang tak kalah menarik adalah tumpulnya pemahaman etika politik di Masyarakat. Perhelatan akbar PEMILU setiap lima tahun sekali hanyalah kesempatan mendapatkan uang 100 hingga 150.000 rupiah beserta sembako, ketimbang berpikir bagaimana impact pasca pemilihan umum bila menghasilkan kemenangan yang penuh dengan kecurangan. Bahkan saat ini kalau kita amati bersama, muncul budaya baru di Indonesia khususnya di kalangan anak muda (Gen Z ) paradoksal budaya berupa branding politik popular, saya sebut branding karena memang budaya tahan malu ini di jual untuk popularitas dan menaikkan elektabilitas. 

Contoh fenomena Samsul, yang pada awalnya berasal dari olok-olokan yang sejatinya menunjukkan sindiran soal kebodohan, ketengilan, tidak ber etika dan lain lain menjadi guyonan bahkan meme-meme yang bisa di jual dengan penuh kebanggan dan percaya diri. Seolah tidak ada rasa malu bahkan risih bahwa sebagean rakyat sebenarnya sedang mengolok-olok ; bahwa itu tidak pantas, tidak wajar, memalukan dan sebagainya. Oleh team sukses justru di branding untuk nama klub speak bola ( samsul club ), bahkan ada fenomena sebagean kelompok anak muda tersebut bangga atas kesalahan dan apapun itu kecurangan yang dilakukan.

Tentu kita akan menerima apapun hasil perhitungan yang benar agar kepercayaan terhadap lembaga Lembaga yang mengelola PEMILU lima tahunan ini semakin baik. Tentu kita akan menerima siapapun Pemimpin negeri ini yang di hasilkan dari proses demokrasi yang bersih dan benar. Karena kemana lagi rakyat seperti saya ini akan berharap negara Indonesia menjadi negara yang maju dengan tingkat kepercayaan kepeda Pemerintahan yang legitimate kalau tidak dari PEMILU yang bermartabat? Hanya rakyat yang diajarkan oleh pemimpin yang jujurlah menjadikan mereka semakin cerdas berpolitik, bukan pemimpin ( pun pemimpin Agama )yang membuat rakyatnya semakin rendah SDM politiknya yang dengan mudah menerima transaksi politik melalui Money politik.

Comments

Popular Posts