Membunuh Mitos Berkah di 100 Hari Pemerintahan Prabowo







Reformasi politik yang banyak diinginkan oleh kebanyakan mereka penggagas Reformasi 1998 pada mulanya adalah menginginkan pemerintahan bersih dari unsur KKN, menjatuhkan rezim orde baru yang sangat korup dan tidak rasional digantikan dengan orde reformasi dan keterbukaan politik yang mengedepankan transparansi, demokrasi serta rasionalitas. Menciptakan harapan baru sesungguhnya, akan tetapi harapan itu jauh panggang dari api. Pemerintahan Jokowi ditutup dengan sejumlah perilaku nepotisme yang sangat kental. Sehingga tidak kaget apabila slogan yang mengiringi kampanye dua periode rezim Jokowi yaitu Revolusi Mental, bisa berarti di dalamnya adalah soal-soal keterbukaan, rasionalitas dan anti politik dinasti seharusnya tidak terjadi.

Seirama dengan cuitan gerombolan mantan aktivis 98 di sosial media. Bahu membahu mengusung isu-isu NKRI harga mati, anti khilafah dan pemilu yang rasional tanpa politisasi agama khususnya Islam. Akan tetapi ternyata Reformasi 1998 yang sebetulnya adalah diperjuangkan dengan darah mahasiswa seluruh Indonesia, diciderai oleh sekelompok tertentu saja yang dahulu sebetulnya bukan korban aksi 1998, namun segelintir orang yang memanfaatkan momen tersebut dan kini berkolaborasi pada pemerintahan Prabowo sebagai menteri atau wakil menteri. Memang jabatan yang diberikan tidak cukup strategis seperti kementerian perempuan yang kebetulan adalah istri aktivis 1998, atau beberapa staf dan kepala badan yang baru dibentuk. Apakah itu sekedar untuk memberi posisi baru ataukah karena memang besarnya jumlah orang yang akan ditampung di pemerintahan baru Prabowo.

Pada akhirnya tampak seperti perebutan kekuasaan yang secara implisit terjadi pembelokan reformasi. Ternyata hanya berorientasi pada pergantian kekuasaan belaka, ganti casing tetapi korupsinya semakin lama semakin semakin tinggi. Reformasi dibelenggu oleh skandal dan ketakutan-ketakutan yang dianggap sebagai anti thesis perjuangan reformasi dan ini selalu menjadi obyek bidikan yang terus-menerus hingga menjadi stigma, bahwa kebaikan dan kebenaran itu tidak harus menjunjung tinggi nilai-nilai perjuangan pemberantasan KKN dan kebebasan politik serta etika politik.

Sebenarnya naiknya perolehan suara tidak bisa dikatakan secara langsung terjadi karena menurunnya Golputer, dengan banyaknya isu yang beredar sebelum pencoblosan kertas suara yang beredar sebelumnya, seperti bertambahnya pendaftar gelap yang disebutkan sebagai orang gila yang memiliki hak pilih, kertas suara yang sudah dicoblos terlebih dahulu, kasus sirekap dan penggelembungan suara, fenomena bansos yang disebut sebut sebagai cawe-cawenya Mulyono dan rentannya kecurangan yang bisa dilakukan oleh kedua belah pihak baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ini diakibatkan karena saksi masih bukan berasal dari lembaga independent akan tetapi saksi bergantung kepada tiga kandidat yang sedang bertarung. Bagaimana kalau di luar negeri apakah menjamin saksi dari lawan juga dipersiapkan? Tentu logis apabila paska pilpres 2024 berakhir, berapa konkrit hasil secara riel sangat sulit dibuktikan secara faktual.

Kalau di Amerika sebelum masuk ke pendaftaran manual, masyarakat diwajibkan melakukan registrasi langsung secara online, dengan persyaratan pasport atau ID. Dengan demikian diketahui daftar yang jelas dan bisa ditelusuri kelengkapan administrasi dan jumlah pemilih resmi berdasarkan ID dan alamat yang pasti. Meski tingkat kepercayaan terhadap pemilu khususnya Pilpres sudah sangat terasa dengan perolehan dan prosentase suara yang naik hanya beberapa persen dengan jumlah penduduk yang tidak jelas dari tahun 2014 hingga pilpres 2019.

Contoh pada pemilu 2014 pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla memperoleh 70.997.833 atau 53.15% sedangkan Pasangan Prabowo-Hatta Rajassa memperoleh 63.576.444 atau 46.85% pada tahun ini hasil tersebut adalah 85.607.362 atau 55.50 % sedangkan Prabowo-Sandi memperoleh 68.650.239 atau 44.50 % total dan rincian penduduk yang sah berapa? Penduduk yang mendaftar berapa? Penduduk yang tidak mendaftar berapa? Jumlah golput berapapun tak akan bisa terlacak, apalagi melacak jumlah perolehan suara per desa, kabupaten, kecamatan kabupaten sampai propinsi, semuanya dilandasi hanya dari kepercayaan, bukan data. Demikian pula di tahun 2024 ketika Prabowo berdampingan dengan Gibran Rakabuming Raka. Kemenangan yang di klaim 58% ini tidak bisa kita nilai sebagai kemenangan mutlak bila campur tangan rezim sebelumnya ikut andil khususnya dalam konteks legalitas nepotisme melalui keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 Tahun 2023 tentang batas umur.

Menilik dari cara menghalalkan segala cara untuk menang adalah bentuk dan wajah politik kita dari sejak jaman orde baru, bukan hal yang baru intrik politik selalu terjadi secara Tersetruktur, Sistematis dan Masif. Opini bisa diciptakan, pemainnya siapa jelas bukan semua rakyat, karena tak semua rakyat bermain sosial media. Pemainnya ya itu-itu saja, coba amati berapa jumlah akun di Facebook yang resmi bukan kloningan? Pada saat orde baru Soeharto bisa menggalang suara tetap di parlement agar bisa terpilih kembali. Sebenarnya sama saja dengan sekarang. Sekarang Petahana menggunakan kendaraan politik seperti NU untuk meraup keuntungan suara.

Hal ini berakibat mundurnya satu langkah bangsa ini melepaskan diri dari politik identitas dan pemilihan rasional. Pertimbangan rakyat atas evaluasi kinerja serta kesadaran publik terhadap tingkat korupsi yang tinggi atau kegagalan pemerintah, bukan didasarkan pada pertimbangan Jokowisme. Jokowi memiliki wakil dari NU, Prabowo dan pribadinya yang menjadi bulan-bulanan media, Prabowo yang tidak bisa mencium tangan kyai dan seterusnya. Tak ada satupun isu kebijakan publik ke tiga kandidat yang dianggap bisa memecahkan problem bangsa. Sebodoh inikah rakyat Indonesia? Sebodoh inikah kandidat Presiden kita? Seharusnya siapapun dan dari manapun asal, agama, serta identitas organisasi mereka, Presiden yang layak dipilih adalah Presiden yang paham dan memahami semua masalah bangsa ini.

Ini bukanlah pekerjan yang mudah dan dibutuhkan kecerdasan publik, bukan hitungan sementara ataupun keuntungan kemenangan sesaat, namun mundur ribuan langkah baik dengan hitungan pertimbangan yang realistis material atau nonmaterial. NU sejak dahulu memang termarginalkan dalam segala hal terutama sumberdaya manusianya, hal ini mempermudah para politisi untuk selalu menggunakan permainan yang sama. Selalu sama dan berakibat merusak persatuan, nilai moral dan nalalr publik terutama dalam menanamkan dendam politik setiap lima tahun sekali.

Diakui atau tak diakui, bahwa politik Kyai - Santri ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain adalah budaya feodal, oligarchi yang sangat tinggi di masyarakat kita. Perbedaan kelas serta mitologi hubungan kyai dan santri yang tak rasional. Karena tingkat kemiskinan yang tinggi di masyarakat kita, khususnya sebagian besar kantong-kantong masyarakat NU. Kyai menjual berkah dan karisma, Santri membayarnya dengan pengabdian yang tanpa syarat. Sebenernya banyak sekali para "kyai" dan gus-gusan ini menggunakan kesempatan ritual lima tahun sekali agar dapat mempertahankan lumbung uangnya. Karena secara faktual mereka tidak memiliki pekerjaan dan sumber penghasilan tetap selain berasal dari sumbangan donatur, beberapa santrinya yang loyal dan seterusnya. Jasa fatwa politik serta dukungan inilah yang secara sosiologis merusak ide sekularisasi yang terakhir digaungkan oleh rezim Jokowi sebagai isu untuk lebih rasional berdemokrasi, liberalisasi agama dan membidik kelompok Islam garis keras yang menggunakan politisasi agama dan berakibat disintegrasi bangsa. Akan tetapi pada prakteknya sama saja istilah dawuh kyai dan kuwalat menjadi jualan paling laris jelang pemilihan presiden 2019-2024.



Negara yang maju dimulai dari mana dahulu?

Pertanyaan ini sangat menarik, acap kali saya apatis melihat kondisi bangsa Indonesia yang sulit diajak maju bersama, karena politisi masih seperti bunglon. Pada saat tiarap atau sebelum hajatan Pilpres dimulai mereka layaknya orang yang netral, tercerahkan. Setelah masuk hajatan besar ritual lima tahunan, mereka kembali ke habitatnya menjadi penjilat ulung partai dan penguasa. Oleh karena itu di era Jokowi berkuasa sangat kental dengan “kampret” (anti jokowi) dan “kecebong” (istilah ternak Jokowi yang dipakai sebagai relawan, influencer hingga buzzer yang hidup dan mati untuk menjilat Jokowi). Padahal media sosial bisa menjadi legislasi pengganti DPR ketika lembaga itu tidak berfungsi seperti semestinya. Banyak uang negara terbuang percuma dengan membuat Pansus Haji misalnya. Namun sampai berakhirnya Pansus Haji tersebut hingga sekarang tidak ada follow up bagaimana rekomendasi hasil Pansus Haji atas dana yang diselewengkan dan oknum-oknum yang semestinya ditindak secara hukum.

Hukum di Indonesia biasa dilecehkan, dan politik menjadi dewa yang bisa mengatur hukum. Media sosial yang paling dinamis melakukan kritik terhadap pemerintah, mengawasi dan berkomunikasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat secara langsung. Dibandingkan dengan kerja kerja DPR. Sehingga ada istilah no viral no justice. Sejak dahulu Badan Legislatif tidak pernah memikirkan perubahan konstitusi, menggodog kebijakan-kebijakan baru dan bersinergi dengan negara selain mereka sangat korup dan tidak efektif. Karena di dalamnya adalah orang-orang lama, jabatan seumur hidup. Setiap kali memikirkan ini, kesabaran saya sebagai akademisi selalu diuji ulang. Melihat perilaku sosial tak pernah beranjak maju dan berubah keluar dari kotak, perilaku politik mereka seperti spiral, berputar putar dan berulang ulang. Tak pernah belajar sama sekali dengan sejarah.

Negara maju jelas harus dimulai dari masyarakatnya yang semakin melek dan cerdas terhadap politik dan perubahan. Kemandirian dan kesejahteraan sangat mempengaruhi perilaku dan mental-mental yang kuat dan bukan semata mata terpenuhinya kebutuhan pokok seperti kebijakan andalan makan siang gratis. Kemudian setelah rakyat cerdas dan mandiri adakah kekhawatiran berubahnya kultur atau tradisionalisme dan kesantunan sosial? Menurut saya tidak, hipotesanya adalah ada organisasi tasawuf dan tarekat mereka bisa memisahkan diri dengan pengaruh politik namun tetap melestarikan kesakralan agama, hubungan antara mursyid dan murid serta tradisionalisme tetap terjalin. Demikian pula dengan organisasi ortodok di lembaga Gereja mereka justru menjadi agen nirlaba dan volunter bagi negara negara yang sedang berkembang serta agama lain, tanpa campur tangan politik dan hanya fokus pada kemanusiaan.



Membunuh Mitology Berkah

Beberapa kerja kyai yang tidak terlalu populer secara nasional memiliki santri yang loyal meskipun dimulai dari keluarga sendiri, teman kerja (dagang). Sebenarnya banyak sekali ustadz-ustadz dan kyai lokal yang bekerja seperti multi level marketing, mereka “menjual” nilai berkah. Biasanya ini karena rendahnya pemahaman keagamaaan serta mitology yang tumbuh subur di masyarakat yang kurang berpendidikan, khususnya mereka yang menganggap 'kyai' sebagai bentuk tawasul atau tempat yang bisa membawa mereka “terselamatkan”’. Awalnya mungkin tidak sengaja praktek-praktek kyai yang mirip dengan dukun ini berawal bisa dari murid yang jumlahnya tidak seberapa, mereka terpesona oleh kemampuan menghipnotis dan membuat terkesan seperti contoh kasus Kanjeng Dimas beberapa tahun yang lalu sebelum terbongkar, bisa juga menghipnotis dan membuat orang seperti Marwah Daud Ibrahim hilang rasionya atau fenomena gus-gusan serta pengunduran diri Gus Miftah yang belum juga dua bulan menjabat di Pemerintahan Prabowo-Gibran.

Ada juga mereka mengikuti bukan karena kharisma tapi karena faktor dzuriyah, atau berdarah biru, habib-kyai tersebut dianggap memiliki keturunan orang mulia. Padahal kita mengetahui, boleh jadi keturunan mulia memiliki perilaku lebih jahat ketimbang orang awam. Tapi si murid tetap meyakini, bahwa pekerjaan dan kekayaan yang terus berkembang ini berasal dari keberkahan mengikuti habib atau sang kyai. Sang kyai bisa meminta apa saja dan sang santri bisa memberikannya dengan sukarela untuk sang kyai. Bahkan mungkin tubuhnya, kalau santri ini perempuan. Hanya untuk mendapatkan keberkahan yang diyakininya. Padahal kita mengetahui bahwa, semua rezeki yang kita peroleh di dunia ini bersal dari Allah, doa dan usaha kita yang sungguh-sungguh. Inilah awal “mitology berkah” terus saja dilembagakan secara budaya dan tradisi. Bahkan ada yang menganggap sebagai kekayaan leluhur dan tradisi bangsa yang harus dilestarikan. Padahal ini pembodohan total dan bukan pemahaman yang benar soal makna berkah.

Contoh politik berkah yang lain adalah metode bagi-bagi sembako dan bansos oleh pejabat pada saat Pilkada atau lempar-lempar kaos dari atas mobil oleh Presiden Jokowi ketika sedang menginginkan sesuatu. Padahal bisa saja dia memerintahkan menterinya terutama menteri sosial misalnya agar program bantuan sosial terhadap rakyat tepat sasaran.

Politik berkah adalah transformasi dari dilema hubungan antara santri dan kyai. Hubungan vertikal layaknya abdi dalem dengan seorang tuan tanah atau hubungan santri-kyai ini bisa dilihat dari istilah-istilah yang digunakan atau perilaku perilaku feodal yang di ritualkan. Seperti menyebut keluarga rumah kyai sebagai kata “griyo ndalem,” “santri ndalem,” dan seterusnya. Ada jarak yang sangat jauh ketika menggunakan istilah seperti Gus, Ning bagi anak anak “ndalem” kyai. Perilaku itu juga sangat signifikan saat pembagian zakat atau pemberian sesuatu kyai kepada santri dan keluarga santri. Ketika keluarga santri berkunjung ke pesantren menjenguk anak mereka, mereka sangat bangga membawa apapun hasil pertanian dari bercocok tanam mereka kepada keluarga ‘ndalem’ ini. Seperti upeti layaknya rakyat kepada Rajanya. Tapi sebaliknya ketika istri kyai kyai itu membagikan sedikit sedekah berupa makanan dan pakean maka santri santri itu berjejer sambil jalan berjongkok layaknya abdi dalem. Oleh karena itu pengunduran diri Miftah salah satu staf khusus Presiden bidang kerukunan beragama sangat membuka fenomena arogansi budaya politik kyai-santri ini.

Permasalahan sosial di atas tidak lepas dari kondisi ekonomi masyarakat menengah ke bawah yang sangat miskin dan penuh keterbatasan. Berbanding terbalik dengan segelintir masyarakat yang mampu membeli fasilitas, dengan dukungan pajak karena mereka hidup dari kemewahan negara sebagai pejabat negara ataupun Dewan Perwakilan Rakyat. Jabatan politik akhirnya diserbu juga oleh kelompok sosial lain seperti artis maupun influencer karena berkurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia.

Selain isu keamanan negara yang sangat minim dengan munculnya beberapa pagar laut yang sudah bersertifikat SHM ataupun HGB di Jakarta maupun di perairan lain, kegaduhan yang mengundang kontroversi di 100 hari Pemerintahan Prabowo adalah soal pajak PPN 12 % inipun disambut sangat mengecewakan yang terbaca di sosial media. Mereka memprotes kenaikan yang sangat cepat ini sejak pemerintahan Jokowi. Padahal jauh sebelumnya pajak 10% PPN tidak pernah mengalami kenaikan pada masa masa sebelum pemerintahan Jokowi. Hanya butuh satu tahun saja kenaikan PPN dari 11% ke 12%.

Apa dan bagaimana sebenarnya kenaikan pajak PPN itu akan berpengaruh? Meskipun pemerintah menyebutkan bahwa, PPN yang akan naik hanya barang -barang mewah. Kemudian apa perbedaan dengan pajak barang mewah? Dalam catatan sejarah, negara pertama yang menerapkan PPN adalah Prancis, bukan Jerman atau Amerika Serikat. Pada saat itu, PPN diterapkan di Prancis pada tahun 1948 pada tahap manufaktur. Pada tahun 1954, Prancis mengubah kebijakan perpajakannya di negara tersebut. PPN, yang awalnya hanya untuk tahap manufaktur, kemudian dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi. Indonesia juga demikian pajak keistimewaan tidak bisa serta merta hanya menyentuh kepada barang mewah, premium dan impor akan tetapi imbasnya kenaikan harga akan mengikuti biaya produksi dan distribusi.

Pada tahun 1960 dan 1970-an, negara-negara Eropa mulai mengenakan PPN di negara masing-masing. Sementara di negara-negara berkembang, PPN telah dikenakan sejak awal tahun 1980. Beberapa karakteristik PPN yang bisa kita pahami sebagai orang awam adalah sebagai berikut: PPN adalah contoh dari pajak tidak langsung. Ini berarti bahwa pembayar pajak (konsumen akhir) dan orang yang bertanggung jawab untuk membayar pajak ke kantor pajak (penjual) adalah orang yang berbeda. Pajak pertambahan negara disebut penghasilan tambahan negara yang obyektif karena jumlah pajak yang harus dibayar memang harus disesuaikan dengan objek pajak seperti barang dan jasa yang ditransaksikan, tidak tergantung pada subjek pajak (siapa pembayar pajak). Pajak multi tahap karena pajak dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi sejak barang dan jasa itu meninggalkan pabrik.

Jumlah kenaikan PPN menjadi 12% ini justru dianggap terlalu tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga yang kebih kecil seperti Vietnam; Vietnam justru menurunkan PPN dari 10% menjadi 8%. Alih-alih janji politik Prabowo yang tidak akan menaikkan pajak kalau dia berhasil menjadi Presiden, ini belum juga genap 100 hari Prabowo membuat kebijakan yang kontroversial. Meskipun ditengarai adalah warisan dari kebijakan sebelumnya yang sudah melalui keputusan DPR. Namun Prabowo masih memiliki kesempatan mengeluarkan Perpu apabila ingin mendapatkan nilai yang positip di 100 hari pemerintahannya. Di tengah tengah isu gemuknya jumlah kementerian yang kurang efektif dan berdampak pada pemborosan belanja negara. Vietnam dipuji karena negara ini mampu melakukan efisiensi dengan melakukan pemangkasan pegawai dan kementerian di pemerintahannya.


















Comments

Popular Posts