Simple Questions about The Rule, it is Important or Not?





Setiap kali menaiki kapal besar tentu kita akan bertanya tidak akan kita berfikir berhenti di tengah lautan, atau satu terminal ke terminal lainnya, kita hanya punya satu tujuan kapal besar ini berlabuh di mana? Setiap kendaraan politik maupun negara pasti punya rule, punya aturan main. Tinggal kita memilih kendaraan yang mana? ketika kita sudah menaikinya kita harus ikuti aturan mainnya, tidak bisa seenak sendiri kita acak-acak dan merubahnya sesuai dengan selera. Harus dimulai dari start dan diakiri sampai finish.

Bukan menjadi issu baru lagi bila agama selalu memainkan peran pengganti dalam proses demokrasi di tanah air. Satu issu yang sejak dari dulu memang tidak pernah tuntas, kalau saja tragedi di tahun 80an dan ditahun 70an sudah terungkap siapa dalang pembakaran yang dilakukan oleh kelompok tertentu pada saat itu, di beberapa daerah kepada etnis China. Termasuk yang terjadi di wilayah lain seperti Pekalongan, Purworejo, Pemalang secara serentak seperti penghancuran beberapa tempat tempat yang dianggap maksiat pada waktu itu seperti bioskop dan tempat karaoke, tentu saja tidak akan terjadi lagi under estimate yang berlebihan terhadap Islam yang konsisten sampai sekarang. 

Bukan Islam garis keras, yang saya maksudkan, menyebut Islam yang konsisten adalah Islam yang memang secara santun menjalankan semua perintah Allah. Dan memang ideal dengan toleransi dan demokrasi. Namun sampai sekarang kita tidak tau siapa yang melakukan, siapa aktornya? Apa motif nya dan seterusnya. Sampai sekarang hantu itu bergetayangan di media sosial dan kita sulit mengidentifikasi, sebenarnya siapa yang patut dipersalahkan, kepada siapa jari telunjuk ini harus kita arahkan? Benarkah itu berasal dari orde baru? Islam garis keras? Atau kita sedang diadu domba oleh pihak tertentu yang sampai sekarang sudah mengendalikan sentimen massa.

Tentu sangat tidak adil apabila kita berame rame, menyalahkan Islam, seolah marwah agama tersebut cepet ternoda bila terjadi peristiwa apapun. Kita liat kasus teror, Islam yang disudutkan. Kita liat soal kasus PKI, Islam menjadi kelompok paling bodoh memahami komunisme Karl Marx, konyol dan tidak faham demokrasi. Kita liat dan disuguhi fenomena perilaku yang mengundang kritik, mengapa bukan agama lain? Mengapa ektrimis itu identik Islam? Mengapa yang tidak bisa demokratis dan tidak bisa jujur itu Islam? Mengapa issu korupsi dan extremis itu berasal dari Islam, dan mengapa pula justru olok-olokan itu justru berasal dari mereka yang menyebut dirinya aktivis dan agama Islam, poor Islam. 

Sedominan itukah Islam di Indonesia, benarkah memang politik bunuh diri dan lempar teman sendiri itu tampak lebih keren dan populis? bahkan sampai ke yang ecek ecek tentang liputan razia warung dilarang berjualan yang dilakukan oleh aparat satpol PP yang baru baru ini heboh dan di komplain di dunia maya akibat diliput oleh kompas TV pun, kembali mengkritisi soal Islam yang benar?

Kita ini sebenarnya sedang menelanjangi diri lagi sebagai Islam yang tidak bisa bertoleransi, bagaimana dengan kaum moslem yang bertoleransi terhadap peristiwa nyepi di Bali? Bagaimana dengan kaum moslem yang tidak boleh menggunakan jilbab karena harus bertoleransi kepada mayoritas yang beragama kristen? Kenapa kalian diam? Milik siapakah toleransi itu? Atau jangan jangan permasalahannya bukan pada soal puasa dan berdagangnya. Namun kepada soal kemiskinan, tidak ada kemampuan negara memberikan lapangan yang layak dan seterusnya.

Adakah issu lain buat olok-olokan yang jauh lebih penting dari sekedar olok-olokan ini? Bukankah masalah di negara ini yang lebih besar dan dalam darurat tiga jauh lebih banyak? Tak lakukah issue tentang pengangguran yang merajalela? Kemiskinan dan tingkat korupsi yang belum tertangani? Fasilitas publik dan pendidikan moral yang berantakan? Tidak adil bila kemudian orang berame-rame mengolok-ngolok dan membandingkan meanstream yang dibangun dari liberalisme berpikir dan soal ibadah yang tepat dan tidak tepat, apalagi berbuntut pada HAM. Demokratisasi ibadah, interpretasi sosial tentang makna puasa sebagai ibadah sosial ataukah individu. Satu pertanyaan yang menggelitik benarkah rule itu tak penting lagi dalam negara yang kadung mengambil sikap liberal?

Sebenarnya kita ini sedang menguji arah dan jalur jalan yangg sedang kita lintasi, di arus jalur kanan yang ramai dan berdesakan itukah kita bernegara? ataukah dijalur kiri yang lengang dan cuman kita sendirian? Dalam konteks apapun dalam proses berdemokrasi dan bernegara, kita hanya ditantang untuk memilih jalur tersebut. Dan itu hanya pilihan, hanya sebuah jalan. Rule, paradigma, atau katakanlah konstitusi yang semua rakyat atau yang terikat kepada sistem tersebut mereka harus mematuhi kalau tidak akan membahayakan orang lain karena berjalan di lintasan yang salah.

Liberalisme memang diakui telah menyedot seluruh cara pandang kita, meanstream kita. Hingga cara pandang melihat orang beragama. Kita tau sebagian besar negara-negara Islam belahan Asia barat atau Eropa memang berbeda jauh dengan perilaku sosial dan keagamaan. Di Asia timur. Islam yang tumbuh seperti di negara Turki, Armenia, Azerbaijan, Kadjakivstan, Iran akan berbeda dengan Indonesia, Arab, Mesir atau Pakistan misalnya. Karakter Islam yang tumbuh di Asia Barat ataupun dataran Eropa memandang Islam layaknya symbols kartu tanda penduduk tanpa isi. Mereka moderen, liberal dan benar-benar tidak peduli dengan rule, aturan, apalagi fiqih. Sama seperti yang kita mau sekarang, Islam tanpa isi. Simbolis, Hyper pluralism, dan liberal.

Tidak butuh sanksi moral dan aturan pemerintah. Tidak malu hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, puasa dalam kondisi menstruasi pun hak mereka, menghormati dan sangat-sangat harus menghormati bila sesama moslem minum-minuman keras bersama sebagai simbol toleransi yang tinggi. Islam simbolis inilah yang menyatukan moralitas relative dalam beragama. Menabrak semua aturan, tidak malu-malu lagi terhadap perubahan jaman. Liberalisme adalah sebuah keniscayaan dan seterusnya. Fenomena inilah yang sedang terjadi di Indonesia, di mana hiperpluralisme dan demam demokrasi tanpa rule menyerang ranah agama sebagai wilayah privat. Transformasi ibadah ke ranah sosial dengan simbol-simbol sinkritisme agama, seperti Islam Nusantara, ibadah sosial, Agnotisme, dan bentuk bentuk lainnya.

Hiper pluralisme sebenarnya sedang mengancam substansi dan teori. Hiperpluralisme adalah bentuk baru dari imbas pemikiran post modernism yang anti struktur, anti rule. Yang ada hanya issu, jargon, dan pengulangan kembali teori-teori lama yang sebenarnya sudah dipakai ribuan tahun yang lalu. Seperti kapitalisme, dekonstruksi agama, anti kemapanan, perjuangan kelas prolentar, sacrifice, secularism dan sebagainya. Hampir ide-ide mereka yang dibungkus dengan politik bahasa, politik komunikasi, hampir tidak memiliki issu baru. Bisa cepat dibaca bagi kita yang memahami betul ilmu politik dan perkembangan sejarahnya.



Hampir semua yang ditolak oleh hegemoni hiper pluralisme politik dan agama adalah teori-teori politik dan pemikiran tentang agama yang justru memiliki kekuatan konsep. Jauh lebih dalam dan detail. Sebut saja soal konsep negara yang diambil dari pemikiran sosialisme, atau politik dan hukum yang diambil dari pemikiran Khilafah dan Islam tanpa dipolitisasi. Mereka jauh lebih jelas rule dan pijakan dasar hukumnya yang membedakan dengan aspek normativitas moral yang relatif dan pheripherial. Bukan sekedar rame di permukaan namun kosong di isi dan dalam tata hukumnya.

Jadi pertanyaan yang menggelitik saya yang terakir adalah, benarkah kita yakin rule atau ketertiban umum itu tidak penting? Manakah yang penting? Aturan dulu baru tertib ataukah acak-acak dulu dengan ide dekonstruksi dan isu hiper pluralis baru berkeadilan? Benarkah setelah masyarakat menjadi sekuler dan liberal terwujud, pelumpuhan konsistensi hukum dasar terjadi, moralitas universal terwujud, maka masyarakat akan patuh pada aturan baku dan menghormati spritualitas?

Comments

Popular Posts