Bagaimana Membangun Demokrasi?






Masyarakat moderen mencoba menterjemahkan bangunan budaya adalah kepastian yang disusun oleh sekian ribu pengalaman menciptakan imaginasi yang aestetik dan bernilai. Indonesia adalah negar besar, tidak perlu menjelaskan bagaimana menunjukkan bahwa negara ini sangat memiliki beragam khasanah budaya dan peradaban yang tinggi. Namun bangsa ini selalu kembali kepada persoalan yang sama ketika berada pada dilema keniscayaan perubahan yang signifikan, atas perubahan interest dan human opinion soal negara dan politik. Bahkan untuk ribuan tahun yang akan datang pun masalah ini tak akan mampu terpecahkan. Menarik bila anda mendatangi sebuah negara yang sudah berada di ambang kejatuhan dan kehancuran moral, bahkan tata etika timur dianggap sebagai aliran barbar bersebrangan dengan tuntutan liberalisme, gaya hidup dan kemerdekaan.

Sebagaimana melihat tata bangunan yang moderen di negara-negara yang besar, tentu kita akan merasakan dan menikmati hasil karya tersebut, setelah kita tau betapa harmoninya bangunan tersebut sesuai dengan lingkungan yang diatur. Jauh sangat berbeda apabila kita menempatkan bangunan dengan architectur moderen, di tengah - tengah kumpulan  rumah kumuh atau padang ilalang. Di sini sangat mudah sekali kita menafsirkan bangunan demokrasi di Indonesia; makna berbeda sudah tidak lagi difahami secara saklek bahwa akan mengurangi keharmonian, bahkan dalam susunan sebuah bangunan melalui nalar yang berbeda, ditunjukkan oleh detail ornamensi yang menyimpang dari pakem kubus yang teratur. Jadi adakah formulasi banguna demokrasi, untuk bisa menata partisipasi lain dari golongan yang besar dan berbeda?? Keteraturan sebagai simbol taat terhadap norma akan kembali dibenturkan kepada ketidak beraturan masyarakat, menginginkan nilai-nilai yang lebih populis dan represif kepada makna keteraturan simbolik.

Perubahan itu memang tergantung kepada semua otak manusia di Indonesia, kalah dan menangnya juga bergantung kepada kegigihan mereka, tetap konsisten memperjuangkan pemikiran tersebut diterima sebagai keniscayaan dan hukum sosial. Sebagai ilustrasi adalah saat ini pemilihan Ahok sebagai calon gubernur yang diunggulkan oleh tokoh simbolis seperti Gus Dur yang menjadi panutan kelompok dan organisasi terbesar di negeri ini, tentu bisa jadi telah terjadi reduksionalisasi dan pergeseran makna. Pada saat ini menjadi bukan persoalan pemahaman publik lagi kepada toleransi dan hak suara untuk minoritas. Namun melek politik masyarakat kembali tidak ingin dibodohi lagi oleh situasi di mana faktor menerima orang jujur secara simbolik adalah riskan bila implikasi kemenangannya akan berdampak kepada beaya demokrasi yang tinggi atas hak pribumi dan rakyat miskin. Sehingga memperjuangkan minoritas tidak menjadi populis lagi dibandingkan dengan memperjuangkan kebijakan yang lebih menyentuh rakyat atas counter mega proyek yang diterapkan oleh kebijakan Basuki Cahaya Purnama atau Ahok dengan stigma pelecehan surat almaidah ayat 51.

Sebenarnya yang terjadi bukanlah soal pelecehan dan SARA, yang kita amati sebenarnya adalah kecemburuan politik yang sangat kuat atas mayoritas terhadap minoritas yang saat ini lebih diuntungkan oleh negara apapun bentuknya itu. Kuatnya rezim Jokowi tetap ingin memenangkan hingga 2019, padahal pemerintah masih berusia jagung dan belum genab satu periode memunculkan reaksi yang masiv dari para hater dan lover berupa pencitraan dan black campaign. Beginilah kondisi politik kita saat ini, suka ataupun tidak suka permainan itu tampak sangat kasar di permukaan. Bukan hanya dimainkan oleh elit politik, namun oleh kelas bawah dan minim pendidikan namun berani bersuara keras tanpa takut. Sebuah karakteristik budaya dan etika sebagai ciri simbolisasi kelas yg pernah dimainkan oleh partai komunis pada tahun 66 an. Meskipun saya kurang menyetujui di zaman sekarang masih ada PKI, kemungkinan yang besar adalah mereka yang tidak memahami Komunisme, sejarah dan perkembangan teorinya dengan benar. Simbolisasi kaum abangan melawan Islam garis keras. Mereka saling bahu membahu membuat opini dan publik opinion, menempatkan publik adalah pihak yang mayoritas dan pemikiran Islam sebagai politik pheriperial yang tidak populis, membahayakan, laten dan tidak laku dalam demokrasi di Indonesia.

Tulisan ini mencoba fair melihat kondisi dan carut marutnya politik pemilihan di Indonesia khususnya di Jakarta. Dan mencoba memberikan alternatif dan jalan keluar bagi kejumudan berpikir dua kutub kepentingan yang saling menyerang satu sama lain. Jalan keluar ini berupa rumusan konstitusi baru yang melihat dimensi Islam bukan lagi menjadi momok yang ditakutkan, maupun dimensi aturan dalam nature of law maupun agama lain bila itu dipandang perlu. Apabila hukum dasar sudah terbentuk dengan rapi maka pemimpin yang berasal dari representasi agama bisa ikut mewarnai pengaturan negara namun tidak, serta merta membumi hanguskan aturan dasar atau pokok dasar konstitusi politik yang sudah disepakati. Dan dengan terbentuknya kesepakatan kesepakatan kontrak konstitusi tersebut maka diharapkan kita bisa memasukkan apa saja komponen sumber daya politik yang ada di elemen masyarakat kita. Karena perubahan kepemimpinan tidak akan mempengaruhi sistem tata negara dan hak agama lain.

Persoalannya adalah kegaduhan itu bukan terletak pada bagaimana menata komitmen, namun sebenarnya kegaduhan itu karena miss communication masyarakat yang sangat awam terhadap hukum tata negara. Dengan pemimpin negara yang tidak bisa menjadi subyek penjelas kepada masyarakat yang baik dalam menciptakan persatuan dan kesatuan. Bisa dibilang bahwa kondisi ini dipengaruhi oleh tidak adanya tokoh sentral yang mampu mengalahkan egoisme massa karna faktor kharisma dan ketertundukan rasional. Situasi ini dilatarbelakangi oleh sikap yang terburu-buru partai politik melakukan penjaringan dan kompetensi dalam kerangka Presiden threshold yang merugikan rakyat dan demkrasi. Mereka memilih karna faktor instan dengan pertimbangan akan memenangkan suara terbanyak dari popularitas.

Hukum publik mengatakan bahwa mengapa pada masa Soekarno dan Soeharto diakui atau tidak diakui sangat sedikit sekali mobilisasi massa yang berlebihan, maupun mobilisasi opini. Soal takut atau faktor kharisma adalah nomer sekian? Sebagaimana ingin saya kemukakan adalah sistem mampu menjalankan politik dan pengaruh. Lepas dari faktor negatif atau baik dan buruknya proses demokrasi pada saat itu. Kemudian apa yang harus dilakukan oleh negara agar kondisi tersebut tidak kontraproduktif di setiap kali pemilihan? juga bisa teratasi dengan baik. Pertama sekali lagi adalah membangun sistem tata negara melalui komitmen sistem satu periode ( SALAM SATU PERIODE). Dengan merubah jarak kekuasaaan yang tidak terlalu lama, seperti tiga atau empat tahun masa kekuasaan atau cukup sekali periode, adalah solusi yang efektif, guna bergerak cepatnya sistem demokrasi yang dinamik. Rakyat tidak akan habis waktunya untuk memikirkan dan mempersiapkan perubahan kepemimpinan. Karena mereka tidak cukup waktu untuk menyerang atau menternakkan partisipasi atau kita kenal dengan relawan kecuali bekerja. Kedua adalah kita harus menggandeng element lain seperti faktor mayoritas sebagai sumber politik yang kondusif buat membangun sistem. Dan terakir adalah mulai melakukan penataan pelengkap teknologi dalam menunjang dan membantu proses pemilihan dan kebijakan dengan mulai dibangun idea tentang genius locimer (GENIUS LOCIUM) atau perngakat software yang bekerja sebagai alat bantu pemerintah secara obyektif dalam menjalankan system dan kalkukasi.





Comments

Popular Posts