MACAN ASIA PADA KASUS ROHYANG DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Kita tak bisa menyalahkan negara, bila masyarakat menjadi sangat pragmatis dari hari ke hari, kita tidak boleh menyalahkan negara bila hukum mandul, korupsi tak bisa dihapus sampai ke akar akarnya. Kita tak boleh meminta bahkan mendesak Pemerintah, bila tragedi kemanusiaan di belahan dunia lain berkecamuk meluluhkan nilai nilai dan hati nurani. Karena senyatanya pemerintah sudah memiliki senjata sendiri berupa proteksi dan konter opini, yang di sebar oleh media sosial melalui anomali fakta, apologi kebenaran dan mungkin bisa lebih sadis lagi yaitu pembalikkan opini yang menyesatkan.
Hidup disebuah negara milineum dimana yang berkuasa adalah uang dan perang opini sangat tidak menguntungkan untuk membangun kesetiakwanan, dan kepekaan nasional. Kerja kerja kemanusiaan hanya untuk seremonial mendukung pencitraan yang memuakkan. Sebegitu mudahnya kita bisa melihat debat seorang koruptor di media maupun televisi. Mereka berdebat seolah olah memiliki kebenaran yang patut di perjuangkan. Bukan idealisme perjuangan rakyat kecil, namun utilitiarisme pragmatis yang mereka yakini akan melanggengkan kekuasaan maupun korupsi. Setelah acara selesai, debat ditutup mereka tertawa riang gembira bersama, berpelukan seolah musuh dan lawan , jahat dan baik itu cuman dipanggung on air.
Rakyat jenuh dan capek melihat ini semua, bahkan rakyat tertentu harus melakukan sesuatu sesuai dengan cara mereka dikelola oleh tuntutan negara, bukan tuntutan hati nurani, idiologi, apalagi kebenaran yang hakiki. Sampai kapanpun kita akan jadi macan opong baik di negeri sendiri apalagi di Asia. Saya tau harga diri bangsa Indonesia tidak pernah diperhitungkan oleh dunia, baik dalam konteks hubungan politik, Pendidikan maupun manfaat secara ekonomi bilateral. Bukti bahwa Indonesia adalah macan ompong Asia adalah secara riel dapat saya liat, ketika kerjasama pendidikan bahkan kontrak penerima beasiswa unggulan di Eropa justru diberikan kepada negara negara India dibidang perkembangan teknologi, demikian pula dengan bidang bidang yang lain.
Kalau kita ingin bersaing dalam skala asia saja, tanpa kontrak antar negara, maka Indonesia harus mewakili pelajar atau mahasiswa yang berprestasi sendiri, tanpa embel embel kehadiran negara sebagai fihak yang bekerjasama. Betapa kita tak pernah diperhitungkan sebagai negara yang dulu pernah diagungkan sebagai macan Asia. Tragis lagi bila negara tetangga seperti malaisya jauh melesat dan meninggalkan stereotype sebagai negara berkembang. Kita masih saja berada pada lingkaran skala dengan tingkat PDB negara miskin dan berkembang.
Jalan satu satunya bagaimana kita bisa menunjukkan bahwa negara Indonesia patut diperhitungkan adalah, kemandirian rakyatnya, persatuan dan kesatuan serta bersih dari praktek korupsi. Hukum harus ditegakkan setinggi tingginya bagi mereka yang menjarah uang rakyat. Mereka yang dengan mudah hidup diatas penderitaan rakyat. Mereka yg dalam koneksi kekuasaan tak pernah tersentuh oleh hukum apalagi sosial. Mereka itu adalah para penikmat hasil kemerdekaan selama ini, atau mereka yang merasa berjasa memiliki tanah air Indonesia.
Tragedi Kemanusiaan di Myanmar
Saat ini tragedi kemanusiaan yang sedang mendapat sorotan tajam oleh netizen adalah pembunuhan dan pembakaran lebih dari 1000 orang etnis rohyang di Myanmar. Rohyang adalah etnik minority yang kebetulan berasal dari nenek moyang Bangladesh yg sudah hidup puluhan mungkin ribuan tahun lamanya di Birma, mereka beranak pinak dan menjadi bagean dari rakyat Myanmar. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia yaitu dengan etnis Tionghoa. Namun kebetulan mereka banyak beragama Islam. Konflik etnik dan horizontal ini sebenarnya latar belakangnya adalah perebutan tanah. Bukan konflik agama yang selama ini di beritakan. Namun kekejian pemerintah dan tokoh budhis yang menyebarkan kebencian, menyebabkan seolah oleh semua ini merupakan konflik agama.
Lepas dari itu semua, seharusnya tragedi penyiksaan dan kemanusiaan di Myanmar, tidak justru terbalik menjadi isu yang dijual oleh sebagean kecil masyarakat Indonesia, yang sebagean besar itu adalah relawan dan pengikut rezim ini sebagai komuditi politik. Disebabkan hanya untuk mengukuhkan status qua nya sebagai rezim atau penguasa yang sekulair dan jauh dari keberpihakan agama. Melalui opini opini dan campaign amoral yang membunuh rasa empathy kemanusiaan, yang selama ini dimiliki oleh nenek moyang kita, sebagai bangsa yang beradab dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap agama.
Sikap lemah dan cenderung cuek, yang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah tersistem dan sangat rapi. Generalisasi semua aspek yang berkaitan dg Islam adalah musti dimatikan. Padahal kita tau ini hanya satu sample kejadian kemanusiaan saja, yang melibatkan etnik yang kebetulan adalah banyak beragama Islam. Saya tidak bisa mengerti, serangakaian kecaman tidak pernah dilakukakan oleh non muslim, namun justru kecaman dan meme meme tak manusiawi counter paradigmatik yg merugikan kemanusiaan dilakukan sendiri oleh muslim. Dalam konteks pemilik kekuasaan maka semua opini berbau etnik dan sara harus bisa membuat sebuah alibi sosial dan politik bahwa kejadian tersebut murni bukan bagean politik nasional yang harus dibela secara kemanusiaan apabila tidak menguntungkan secara global.
Indonesia yang saya kenal dari yang saya baca di sejarah, sangat diperhitungkan oleh negara negara tetangga, khususnya yang tergabung dalam ASEAN. Namun sejak rezim ini memerintah, tak ada satupun power dan kharisma yang kuat bisa mempengaruhi tingkat agitasi dan perundingan publik politik Internasional yang menggigit. Padahal yang kita butuhkan bukan soal sumbangan sosial saja. Justru arti negara dan kehadiran sekelas negara menjadi komponen artikulasi politik yang sistematis dalam perang statement dan diplomasi, retorasi di tengah tengah dunia luar, adalah jauh lebih efektif ketimbang soal ekonomi parsial, seperti mengelola batuan.
Ketika Indonesia bisa memiliki kekuatan agitasi yang kuat, maka disitulah kekuatan bangsa ini secara politik dan bisa berpengaruh dan diperhitungkan dalam konteks lain yang akan mengikuti secara tidak langsung. Kelemahan pemimpin negara dalam berretorika maupun kemampuan diplomasi yang lemah, akan berdampak pada ketakberdayaan politik ditingkat Internasional.
Comments