PEREMPUAN DI PUSARAN KORUPSI
Semakin banyak pejabat perempuan tertangkap tangan ( OTT KPK ) dan menjalani hukuman tindak pidana korupsi membuktikan kenyataan konkrit wilayah politik yang menarik di awal pemilihan saja tak sebanding dengan tanggung jawab disaat pemerintahan berjalan.
Profile Pilkada langsung memang sangat sarat dengan pemaksaan diri yang berlebihan. Hal ini diakibatkan oleh lambatnya proses pengkaderan politik dan pemimpin. Partai politik akhirnya lebih banyak mengambil jalan pintas berupa pemilihan calon yang terkenal di media atau perempuan muda yang menarik tanpa mempertimbangkan kematangan politik maupun kemampuan akademisi dalam hal administrasi negara.
Faktor lain adalah, beaya politik yang sangat besar tentunya. Perempuan tentunya dianggap paling rentan dan mudah untuk melakukan serangkaian manipulasi dan deal deal politik yang sangat mudah, dijebak baik oleh lawan politik maupun nilai tawarnya yang rendah akibat hutang budi kepada partai politik.
Kita tahu Indonesia termasuk negara yang sangat rendah nilai partisipasi politik perempuan. Bisa kita hitung berapa jumlah partisipasi perempuan yang bersaing secara imbang dengan banyaknya calon kepala daerah yang berasal dari laki laki. Aspek gender inipun yang dijadikan issu lemahnya kepemimpinan Perempuan.
Ketika sebuah korupsi terbongkar seperti kasus hambalang maupun korupsi E-KTP yang sedang ramai saat ini, maka kembali perempuan secara kebetulan menjadi bidak pelaku utama atau korban dan tumbal pelaku korupsi lainnya yang tidak bisa di usut secara tuntas.
Korupsi pengadaan alat kesehatan FS juga disinyalir dilarbelakangi oleh titipan seseorang dalam aksen jual beli politik dan politik balas jasa. Demikian pula dengan tertangkapnya walikota tegal baru baru ini, dan sejumlah koruptor perempuan sebelumnya baik di eksekutif maupun di legislatif.
Minimnya Pendelegasian
Memaknai hari raya Iedul Adha atau hari Raya Qurban bagi kaum muslim, adalah sangat penting kita mempertimbangkan kembali pemahaman dan nilai nilai berkurban yang secara esensial meruntuhkan pertimbangan fiscal dan keduniaan melebur kepada makna berkurban secara sosial.
Perempuan dalam konteks kisah seorang Ibu ( dewi hajar ) Istri seorang Nabi yang memiliki kuasa ke ilahian tetap,harus menerima dan tunduk pada ketetapan Ibrahim agar merelakan Ismail, harta yang paling dicintainya untuk di kurbankan.
Makna berkurban secara sosiologis politis tentu menempatkan posisi kaya dan miskin pada posisi kepentingan sang pemilik kuasa dan modal, memberikan ganti benda yang disukainya berubah menjadi pemberian berupa suap, grafitifikasi dsb, sebagai proses delegasi material menghubungkan secara formal orang yang mau berkurban ( yang memiliki kuasa ) dengan orang atau masyarakat yang menerima pemberian tersebut.
Konteks ini dalam proses pendelegasian wewenang seorang Perempuan dan proses mereka berpolitik sangat kecil. Ini bisa kita lihat betapa minimnya pendelegasian perempuan ke wilayah wilayah strategis, pemangku kebijakan dan keputusan besar, kecuali tunduk pada partai dan kekuasaan politik.
Tidak ada yang namanya satu disiplin, dalam pengaturan pendelegasian di partai partai lain kecuali PDI perjuangan. Maskulinitas partai lebih mewarnai percaturan politik di negeri ini. Ada area dimana ada banyak ruang, namun ruang tersebut hanya digunakan sesaat saat pemilihan umum saja, baik pemilihan Kepala daerah maupun pemilihan legislatif, apalagi ditingkat Presiden. Dan ada ketegangan ketegangan sosial, politik bahkan agama di berbagai skala saat memunculkan alternatif kepemimpinan perempuan.
Sehingga ketika terjadi OTT KPK oleh pejabat yang nota benenya adalah perempuan maka pendekatan prototyping antara masalah politik dan pendelegasian kesalahanpun tidak terjadi, artinya hanya perempuanlah satu satunya otoritas, yang akan menanggung kesalahan kebijakan publik dan penyalahgunaan wewenang.
Seharusnya perempuan akan menjadi satu sumber opini publik yang paling penting dalam pemberantasan korupsi, tapi sekali lagi memfasilitasi meluasnya penggunaan bentuk delegasi dan partisipasi perempuan secara langsung, yang didasarkan pada sebuah sistem pemungutan suara yang lebih nyaman dan lebih murah itu tidak gampang, harus segera dicarikan jalan solusinya demikian pula integritas moral yang tinggi, yang sudah mulai dipantau sejak dini kepada individu apalagi perempuan yang berpotensi besar melanjutkan ekstafet kepemimpinan.
Regenerasi itu harus dilakukan dengan cepat, tepat dan terukur, dan diharapkan untuk lebih menjadikan kapasitas perempuan bukan lagi daya dan candu politik untuk mengeruk suara dengan cepat, namun katalis untuk solusi demokrasi dan pemberantasan korupsi lebih baik lagi. Membangun mental anti KKN itu memang sedari kesadaran awal pikiran sadar kita.
Comments