CORONA, Politik Sampai ke Bisnis Kapitalistik dan Momen Agama
Corona merupakan pandemik yang sekarang tidak lagi menjadi ancaman bagi China, akan tetapi sekarang sudah menjadi ancaman yang serius bagi belahan dunia lain, tak luput Indonesia. Virus ini dapat menyebabkan gejala seperti pneumonia. Mereka yang jatuh sakit dilaporkan menderita batuk, demam, dan kesulitan bernafas. Karena ini adalah pneumonia virus, antibiotik tidak ada gunanya. Obat antivirus yang dimiliki untuk melawan flu tidak akan berfungsi, dan saat ini tidak ada vaksin. Pemulihan tergantung pada kekuatan sistem imunitas tubuh. Gejala gejala yang muncul disinyalir seperti gejala penyakit flu dengan suhu tinggi, merasa panas menyentuh di dada atau punggung kemudian disertai dengan batuk terus menerus. Virus ini kadang juga tidak terlihat dalam gejala tersebut, saat terpapar dan ini yang membahayakan karena virus tetap bisa menularkan ke manusia lain yang ber interaksi dengan individu yang positip Corona, selama setidaknya 7 hari sampai 14 hari masa inkubasi virus ini berlangsung. Jika Anda tinggal bersama orang lain, mereka harus tinggal di rumah selama setidaknya 14 hari, untuk menghindari penyebaran infeksi di luar. Ini berlaku untuk semua orang, terlepas dari apakah mereka telah bepergian ke luar negeri ataukah tidak. Indonesia saat ini hingga 26 maret 2020 penderita terinfeksi positip corona sudah mencapai 500 lebih pasien di seluruh Indonesia, dan yang meninggal tercatat sudah mencapai angka 58 orang.
Pandemik ini cukup berakibat histeria yang hebat melebihi kasus SAR, MERS, H5N1 atau Flu Burung maupun di tahun 2014 virus Ebola pernah masuk ke Eropa. Karena Virus CORONA penyebarannya cukup luas, hampir semua negara dan benua melaporkan telah terinfeksi, Asia seperti Philiphina, Malaisya, Indonesia, Singapura, Benua Australia, Amerika dan Eropa seperti Italy, Jerman, Rusia dsb. Sebagean besar dari negara negara di Eropa sudah melakukan lockdown, demikian juga dengan negara-negara tetangga seperti Malaisya. Setidaknya usaha ini untuk menghambat dan memutus rantai penyebaran virus yang lebih masif lagi.
Menanggapi musibah Corona di Indonesia sangat beragam, ada yang cuek, ada yang parno alias sangat ketakutan dan ada juga yang menggunakan momen ini untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya khususnya kepentingan politik mereka. Sulit bagi kita memberikan edukasi yang efektif. Bahwa musibah ini membutuhkan kesadaran nasional untuk memutus rantai penularan dengan cara berdiam diri dulu di rumah ( social and fisical distance ) tidak intens berkerumun di tempat tempat umum apalagi mereka yang kemungkinana besar menularkan virus ini. Buktinya takbir akbar tetap jalan, istghosah untuk doa bersama bencana Corona, transportasi masih macet, tempat hiburan berjalan seperti biasa dan sebagainya. Oleh karena itu Kepolisian Republik Indonesia akhirnya mengeluarkan maklumat yang isinya pelarangan tegas kegiatan kegiatan baik bersifat seni, sosial maupun keagamaan yang melibatkan banyak orang berkumpul di dalam satu tempat.
Karena negara kita yang kepulauan dan tidak ada pola penanganan yang sistematis dalam mendeteksi jumlah korban dengan melakukan tes atau uji kesehatan secara kolektif maka sangat sulit mendeteksi berapa jumlah riel yang ter infeksi. Beda dengan beberapa negara termasuk di Eropa termasuk Jerman dan Italy yang menggunakan pola lockdown atau uji kesehatan masal, maka jumlah riel yang ribuan itu menyadarkan masyarakat dan pemerintahnya lebih hati hati.
Virus Corona dalam beberapa hal membuka kesadaran kolektif tentang konsep individual resistance, beberapa hal yang pada awalnya ini adalah merugikan bagi mereka yang menggantungkan hidupnya oleh aktivitas kolektif, seperti pengajian, konser musik maupun pertunjukan, pada akhirnya kegiatan kegiatan yang berhubungan dengan publik sebagai obyek menjadi berkurang. Indonesia dari hari ke hari memang sangat fokus terhadap dependensi publik sebagai social entertainingship, baik yang melibatkan agama maupun politik. Sangat sedikit kegiatan elit sosial yang tidak melibatkan masyarakat bawah untuk mendukung performnya di publik. Bahkan kalau benar sebuah negara yang keterikatan kelompoknya besar akan selalu membutuhkan massa, maka kondisi kondisi seperti sekarang menyebabkan kita melihat sisi lain dalam pandangan dan wawasan politik kolektif kuantitatif kepada fungsional -individual partisipasi publik.
Apakah benar apabila model kesadaran atas kemandirian itu dari sisi bisnis juga politik akan berpengaruh kepada model masyarakatnya? sudah barang tentu kita melihat keterikatan model yang dibangun dalam interelasi publik dan demokrasi akan berpengaruh kepada budaya dan karakter bangsa. Kita melihat bahwa di banyak negara negara yang beranjak kepada kondisi tersebut, sangat nampak kedisiplinan yang tinggi. Boleh jadi karena bentuk kolektivitas dependential baik dalam beragama maupun berpolitik akan melanggengkan paternalistik dan neo paternal baru yang berimpllikasi pada keutungan oligarchi dalam makna yang luas.
Pada saat kita di ajari budaya baru, seperti mencuci tangan dan tidak bersalaman saja, ada hal yang luarbiasa terjadi pada perubahan masyarakat secara kolektif, padahal budaya membersihkan tangan sudah lama terjadi di negara maju. Pada 20 Maret 1847, Semmelweis pernah menunjukkan pentingnya tangan yang bersih ketika ia ditunjuk sebagai kepala residen di klinik bersalin di Rumah Sakit Umum Wina dan mulai mengharuskan semua dokter untuk mendisinfeksi tangan mereka dengan larutan kapur diklorinasi. Kemudian cuci tangan menjadi budaya masyarakat moderen , dimana dan kapan saja mereka merasa harus mencuci tangan dengan benar. Sedangkan di negara negara miskin cuci tangan yang benar hanya terlihat di meja operasi, di mana dokter-dokter diwajibkan mencuci tangan dengan benar dengan alat yang benar saat sebelum memasuki meja operasi.
Hal yang hendak ingin saya sampaikan disaat wabah ini memang di hadapan kita sekarang adalah, setidaknya wabah ini menggugah klinis massa tentang wilayah lain dalam perilaku kapitalisasi sosial dan politik. Dalam konteks tertentu sebagean kelompok sosial yang memang sudah memiliki kemapanan ekonomi, sosial, politik maupun trust keagamaan, tidak lagi tetap melihat keuntungan bisa memainkan kondisi kondisi global. Karena masyarakat bisa berperilaku yang sama, saat menghadapi kegentingan keamanan terutama yang berkaitan dengan keamanan hidup mereka yaitu kesehatan.
bersambung_
Comments