Agama yang Berkebudayaan ataukah Ketuhanan yang Berkebudayaan ?
Isu istilah ketuhanan yang berkebudayaan sebenarnya sudah dilontarkan secara langsung oleh Megawati dalam pidatonya beberapa tahun yang lalu, soal Pancasila akan diperas menjadi eka sila tersebut; meskipun akhir akhir ini justru politisi PDIP di DPR rame-rame telah mengelak bahwa RUU HIP tersebut bukanlah ide partai mereka. Bahkan jauh sebelumnya, isu komunisme telah berkembang dan terbuka di era pemerintahan Jokowi. Dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya, bahkan di era Soekarno pun pemahaman komunisme hanya difahami sebagean saja oleh kelompok intelektual dan beberapa kelompok yang mengikuti pemikiran Soekarno, pada waktu itu.
Pada masa Soeharto permasalahan tersebut tidak diselesaikan, karena pada saat itu di beberapa dunia pemikiran komunisme mulai surut dengan jatuhnya sosialisme dan China sendiri sebagai negara yang menjadi kiblat pemerintahan saat ini, tidak bisa dianggap 100% adalah sosialis-komunis state. China pun di bidang ekonomi mereka masih menggunakan pola-pola kapitalisme-liberal, dan diramalkan mengalami break down, justru berada pada puncaknya di tahun 1978 dengan reformasi di partai komunis. Saya tertarik untuk memahami dengan benar apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan Indonesia, problem ekonomikah, politikah, agamakah ataukah justru problem trust ketatanegaraan saat ini.
Kalau itu problem politik jelas jelas bangsa ini sudah mengalami kemunduran yang sangat hebat secara teoritik. Bahkan bisa dibilang intelektual sudah gagal mentransformasikan pengetahuan yang dimilikinya dan mencerahkan kepada masyarakat awam. Masyarakat semakin buta dan bodoh tentang pemikiran komunisme, PKI, ekstrimisme dan mengikuti halusinasi pemikiran abad 18, bahkan mungkin masa medieval atau abad pertengahan di mana pemikiran tentang politik masih selalu besinggungan soal otonomi teologis dan kebenaran universal.
Jelas ini sangat mengganggu perkembangan ekonomi yang semakin hari semakin terpuruk dan dituntut untuk melakukan perubahan dengan cepat dan sistematis. Tokoh tokoh agama juga semakin tidak bijaksana sejalan dengan kelompok intelektual yang jual muka seperti anak yang baru dewasa. Jadi jangan menyalahkan kondisi rakyat kita yang emosional, setiap hari bangga mengkotakkan dirinya menjadi kelompok pencinta Pancasila dengan slogan aku pancasila, salam pancasila dan sebagainya.
Era Jokowi ini secara psikologi massa, bisa dikategorikan sebagai era transisi. Rakyat mengalami kebimbangan yang besar untuk berubah karena terlanjur di era sebelumnya profil seorang Presiden begitu mendominasi. Hampir rakyat tidak berani merasa lebih menonjol dari penguasanya. Pada saat sekarang dengan kondisi seorang Presiden yang tidak begitu memiliki power legitimasi yang cukup kuat; disebabkan oleh tertutupi oleh hegemoni pendukungnya yang lebih over show up, dibandingkan dengan kepala negaranya yang santai dan kurang memiliki komunikasi yang baik kepada lawan politiknya. Padahal pemimpin negara dapat membawa magnitute massa secara spontan dan tak terukur masuk kedalam karakteristik harismatik rasional sebagaimana di tulis dan sudah diteorikan oleh Weber sebelumnya.
Kondisi negara maju pada umumnya, kritik kepada politik dan pemerintahan adalah hal yang wajar, namun mereka lebih banyak memberikan kritik dalam skala alternatif kebijakan. Kondisi ini tidak terjadi di Indonesia yang mayoritas pemahaman politiknya masih terus berputar-putar soal politik kekuasaan dan tipe ideology negara bahkan politik agama. Phobia soal komunisme dan datangnya PKI ini juga menjangkiti aktivis buruh dan pemerhati kelompok buruh. Sangat aneh bukan?
Aktivis buruh seharusnya justru pada posisi yang diuntungkan ketika pemikiran tentang komunisme ini menggeliat kembali. Mari kita memahami sejarah bersama, bahwa pemikiran tentang komunisme tidak bisa dilepaskan dari ide pertama Karl Marx tentang kritik terhadap Gotha programnya. Bagaimana sebenarnya diskusi diskusi soal Grundrisse menjadi diskusi yang hangat pada saat itu tentang public work; contoh saat ini adalah berimbas soal road construction, private enterpriser dan sebagainaya. Demikian pula dengan diskusi komunisme di sektor politik dan negara. Diskusi tentang komunisme mereka mencoba mengembalikan upaya kepada tujuan negara di mana di bawah pemikiran komunisme dan pengetahuan administratif yang dibedakan dari government dan fungsi fungsinya tetap akan eksis.
Jadi apa sebenarnya yang terjadi? mengapa Indonesia begitu terganggu dan selalu saja tersulut emosi saat pemerintah ataupun DPR kembali mengutak atik Pancasila sebagai sumber segala sumber falsafah, dengan tafsir seenak udel mereka? Kalau di cermati ini salah satunya disebabkan oleh itu tadi tidak adanya komunikasi publik yang baik atau artikulasi politik sehingga luka dan phobia itu muncul kepermukaan kembali.
Komunisme dan Anotomi Negara
Hal yang bisa kita cermati mengapa terjadi kebimbangan arah politik di zaman Jokowi adalah banyaknya pendatang baru di dunia politik khususnya dikalangan akademisi yang mulai disorot karena era keterbukaan berbicara, pembicaraan soal teori komunisme dan liberalisme juga masih sepotong sepotong dan masih di seputar issu partial, issu itu antara lain:
Issu pertama adalah tentang pertanyaaan basic yang membedakan antara superstruktur dan struktur ekonomi yang di defenisikan sebagai bentuk hubungan super efektif dalam control kekuasaan negara dan pemerintah. Bagaimana pun juga perubahan struktur legal dalam term ekonomi sangat bergantung ketertarikannya terhadap dominasi kelas yang justru dimenangkan oleh kelas minoritas yaitu kelas penguasa disekitar istana, juga mereka oligarch yang diuntungkan oleh rezim.
Konsep otonomi negara, mengerucut pada pertanyaan adakah konsep yang spesifik; lebih destruktif atau merusak dari pemikiran dan prinsip produksi dalam politik ekonomi? ternyata pertanyaan ini kembali hanya bertujuan kepada soal pendapatan negara saja, bukan kepada sistem yang permanen dan signifikan untuk mengembangkan kekuatan ekonomi negara disisi lain.
Dan yang paling aneh adalah issu ketiga, yaitu issu yang menempatkan pemikiran komunisme sangatlah bertolak belakang dan jauh sekali dari pemahaman pemikiran komunisme yang saya baca di buku asli Karl Marx. Perkembangan komunisme di Indonesia dan beberapa negara yang melakukan revolusi justru bertumpu pada issu agama dan destruksi agama, khususnya Islam.
Apalagi sebagai catatan; istilah ketuhanan yang berkebudayaan di turunkan dari sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa, Megawati tidak pernah berpikir dulu, bahwa menurunkan tafsir Ketuhanan yang Maha Esa kepada ketuhanan yang berkebudayaan dan gotong royong itu, sama halnya menghapus rentetan sejarah dan Tap MPRS XXV/1966 dalam pidatonya, dan ini di masukkan dalam salah satu pasal di RUU HIP 2020. Jelas Agama memang lebih tepat bila disandingkan pada istilah kebudayaan, kalau kita mau melihat agama dari sudut pandang implikasi tafsirnya yaitu aliran kepercayaan atau kalau mau di lihat dari sisi tafsir sosialnya yaitu melihat agama-agama secara kemanusiaan. Padahal kandungan agama itu sendiri yang paling substantial ya kemanusiaan itu sendiri. Akan tetapi apabila Tuhan dan manusia yang berkebudayaan tidak bisa ditujukan secara langsung kepada subyek Tuhan, secara terminologis akan membuat banyak friksi-friksi penafsiran yang liar, yang secara konstitusional tidak bisa dengan mudah begitu saja di tulis.
Anomali gerakan pemikiran tentang berketuhanan yang berkebudayaan ini memang tidak jauh dari profanisasi Tuhan yang oleh pemikiran atheis ataupun agnotheisme, menganggap bahwa wilayah agama bukan wilayah transendental. Agama hanyalah soal moral dan pembangunan etika atau akhlak sosial. Ini dilatar belakangi oleh kultur bangsa kita yang kaku dan keras kepala, sehingga kanan dan kiri dimengerti sebagai Islam ekstrimis dan Sosialis yang atheis. Justru bukan kita maknai argumentasi itu sebagai dikotomi Kapitalis dan Sosialisme. Lahirnya UU anti sub versi, yang di kemas daam UUITE dan UU HIP juga sangat bermakna destruktif pada nilai nilai demokrasi. Rakyat selalu dicekam ketakutan dan bahaya laten komunis menjadi hantu gentayangan yang berakir pada pembelengguan doktrin serta mundurnya negara dan kebodohan politik yang disebabkan oleh kita sendiri, yang sudah salah memahami juga luka sejarah yang tak mungkin dilupakan begitu saja.
Tema kali ini penulis mencoba memberi pemahaman tentang dasar-dasar pemikiran komunisme yang benar sesuai dengan buku yang ditulis dalam teks asli Karl Marx. Semoga ke depan tidak akan ada lagi persoalan yang dipolitisasi menjadi bola api yang memecah belah persatuan bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Semakin cerdas negara maka akan semakin cerdas pula rakyatnya, semakin bagus management Pemerintah dan aparatnya maka akan semakin cepat kita menuju keadilan serta kemakmuran yang di cita citakan. Melalui reformasi dan revolusi pemikiran serta di implementasikan dalam proyeksi kebijakan di skala nasional maupun internasional.
Kita lihat pada ideologi Jerman, Marxis membuat lebih jelas hubungannya antara Kapitalisme yang bersifat individual dari pada historical dialektis, sebagaimana diungkapkan dalam pemikiran Stirner, bahwa keseimbangan kekuatan ketiga itu akan melawan ruling class dan penyerahan kekuasaan yang nampak, karena bourgeois tidak mengikuti negara hanya untuk intervensi aspek-aspek privat dan ketertarikan mereka agar bisa memberi kekuasaan lebih banyak untuk me-maintained kompetisi tertentu dalam ekonomi negara. Mengapa bangsa ini tidak bisa? itu pertanyaannya, karna bangsa Indonesia sampai sekarang melihat demokrasi yang terbaik itu adalah demokrasi yang mengikuti sosialisme kiri bukan revolusi dalam perkembangan metodologi Marxis yang bertumpu pada revolusi Gothe program sebagai laboratorium sejarah.
Di Jerman komunis burgeouis apapun itu mereka melakukan revolusi secara bersama sama, melawan monarki absolut dan oligarchi. Akan tetapi mereka bukan menggunakan revolusi untuk menyerang dan memindahkan borgouis dan plorental secara kasar, namun membiarkan borgouis melakukan permulaan perubahan terlebih dahulu. Pengalaman yang menyangkut perkembangan plorentariatnya di abad ke 18 dilakukan secara revolusioner kompromis antara keduanya.
Dan oleh Engels pemikir sesudahnya menerapkan teori-teori Marx memasuki periode kapitalisme pembangunan, melalui support ekonomi komunisme sebagai agenda pertama bukan politik atau ideologynya. Di tahun 1848 issu konstitusi mulai berkembang lagi dalam pemikiran komunisme, prinsip prinsip konstitusi, satu tahap dari prinsip Gothe program tersebut adalah mengamankan energetic action, setiap langkah profesional politik dengan melakukan revolusi dari rezim diktator dikembalikan kepada issu tentang public welfare dan salut public.
Public welfare dan Salut public pada revolusi komunis Marxis dipicu oleh tema sentral dalam kerja-kerja yang disebabkan oleh aleanasi politik, krisis ekonomi, eksploitasi dan sebuah kontradiksi antara kekuatan produksi dan hubungan antara produksi dan penghasilan atau outcomes masyarakat komunis. Mereka kemudian disebut komunis methodologies. Komunis dipahami sebagai sebuah analisis situasi dan ramalan dari prediksi politik kebangsaan terhadap munculnya revolusi ekonomi yang akan menyelesaikan permasalahan. Dan para pekerja bisa saja kehilangan pekerjaan mereka karena akibat revolusi ini, namun yang terpenting adalah desakan memanfaatkan dari sebuah tujuan. Tanpa ambisi tersebut maka akan membuat prediksi dan metodologi tersebut tidak cepat terlaksana.
Gambaran di atas adalah bagaimana menunjukkan hubungan geometris komunisme dan pemikirannya sesuai dengan pemikiran Karl Marx tentang Gothe program yang benar. Strategy diskusi Marx atas komunisme yang dijabarkan oleh Stanley Moore disebut sebut sebagai revolusi minoritas-mayoritas, atau strategi reformasi dalam competing system atau sistem yang berkompeten menunjukkan perubahannya ketimbang kebisingan sosial. Bukannya seperti di Indonesia, strategi minoritas melawan mayoritas dengan terus terusan membuat istilah Kadrun atau kampret dan cebong. Berharap defraksi sosial tersebut bisa membuat kekuatan minoritas memiliki skala politik kontrol yang tinggi, tapi justru eskalasi defraksi sosial tersebut justru akan menggeser pemahaman komunisme metodologis yang dicita citakan Marxis kepada kejayaan idiologis seperti pada abad 18 awal.
Kritik terhadap gotha program menolak pemikiran Lassalean terhadap sosialisme, di mana perbedaan antar Marx dan Lassallean ini adalah soal anarkis kiri, yaitu politik indifferentism di mana memberikan peringatan atas idea bahwa negara harus bersebrangan dengan tenaga kerja atau buruh, baik itu buruh swasta ataupun buruh negara yaitu ASN. Sampai pada ahirnya Jerman menemukan sebuah solusi bahwa revolusi ini memang diperlukan untuk mempertahankan sebuah ' porto dorelian', yaitu bahwa pandangan revolusi itu memang perlu adanya.
Dari kapitalisme sampai kepada ide tetang komunisme, di sana sebenarnya Karl Marx telah menemukan implementasi ideal secara institusional. Mereka concern terhadap persoalan produksi dan distribusi dalam struktur yang cukup utopi tersebut, keduanya; kapitalisme dan komunisme adalah bentuk dari tahapan transisisi ekonomi dan transisi politik ( diktatorship of the ploretariat ) dalam kritik gotha program. Antara pilihan kapitalisme dan sosial komunisme, semuanya merupakan pilihan tepat dengan menerapkan market socialism dalam bentuk lain dari desentralisasi pasar.
Komunisme adalah hanya generalisasi dan konsumenisasi hubungan antara private dan propherty, menghancurkan semua bentuk privat propherty. Dalam gotha system communist society hanya bentuk yang mendesak dari persoalan kapitalisme yang tidak mampu lagi di cegah, dan hanya konsep respect, economically, moral serta intelektual masih dicap dengan tanda lahir dari masyarakat lama dari yang siap muncul sewaktu waktu. Sejalan dengan pemikiran Karl Polayi yang menyimpulkan bahwa komunisme hanyalah sirkulasi yang bagus dari kemandegan masyarakat, disebabkan oleh autarkic subsitence yaitu sebuah sistem ekonomi negara yang dianggap telah terswasembadakan dan mengorganisir anatara perubahana pasar dan redistribusi yaitu market, planing dan reciprocitas.
Observasi pada teology komunisme kemudian berubah, pada saat bersamaan mereka, terutama masyarakat sosialis yang ada di Indonesia menilai bahwa idiology agamapun harus dihilangkan untuk menfokuskan nilai nilai tersebut. Mereka tidak hanya menambahkan tiga elemen sistem yang merupakan tipe murni dalam sistem masyarakat apapun, alasan ini karna pertama menurut sejarahnya reciprocity atau kehendak membalas dendam politik adalah central dari prinsip teologi komunisme, di mana setiap manusia akan melakukan respon sebagai pembalasan dari pembalasan secara umum atau general reprocity.
Dimulai dari kemampuan mereka yang lemah menjadi solid, dari jumlah mereka yang sedikit menjadi mayoritas, dari yang patuh kepada agama yang abstrak menjadi patuh kepada kebersamaan dalam nilai gotong royong tersebut. Padahal manusia secara nature atau alami mereka bisa melakukan kerja, dan dalam bentuk kreasi kerja tersebut objeknya berhubungan dengan manusia lainnya tanpa harus menghapus keyakinan privatnya. Common plan adalah sebuah perencanaan umum yang berujud perencanaan di mana agen pusat dari perencanaan tersebut secara ekonomi atau politik berhasil mendapatkan public good dan mencegah fluktuasi klinis dari fenomena boros. Hal ini lebih lanjut oleh Marx dijabarkan dalam tiga konsepnya yaitu :
For the general cost of administration not belonging to the production
For the common satisfaction of need (school, health, service )
For the fund of those unable to work
Sedangkan dalam konteks komunisme publik atau politik diberikan kesimpulan atas tiga hal juga yaitu :
No governmental function
The distribution of general function has become a business matter does not afford any room for domination
The election has none of its present political characters
Sekian_
Comments