Politik dan Bipolar Dis-Order Para Buzzer 2 ( habis )




Pada bagian pertama kemarin di sampaikan bagaimana ketegangan politik itu adalah warisan sejak jaman perang dingin di Eropa antara Uni Soviet dan Jerman yang berimbas kepada ketegangan status qua dan arah filosofi dan perkembangan studi pembangunan negara. Karakteristik yang berbeda dengan ketegangan sosialis yang terjadi di China dan Asia timur. Meskipun saat sekarang tak satupun dari warga dunia menyalahkan dan mencoba meminta pertanggung jawban internasional bagaimana tersebarnya virus Covid 19 dari Wuhan itu jelas-jelas merugikan secara ekonomi dan jiwa hampir seluruh warga dunia. Mengapa ini berbeda, saat Indonesia mendapat kecaman dari mana-mana oleh dunia internasional khususnya, saat terjadi kebakaran hutan dan hujan asap yang merembet ke negeri Malaisya, sampai dibicarakan di pertemuan tingkat dunia seperti WWF, APEC, ASEAN bahkan UNESCO. WHO sebagai organisasi dunia yang independent pun tak pernah menyinggung soal pertanggungjawaban China atas pandemi global ini.

Bisa jadi jawabanya adalah karena secara kolektif bahwa momen saat ini adalah bagian dari evolusi kesadaran manusia dimana kesadaran atau consciousness adalah keadaan logis manusia kontribusinya terhadap penderitaan ( suffering ) dan perubahan peradaban dunia, yang semakin konsumeristik. Evolusi kesadaran ini ditunjukkan secara kolektif pada sebuah logika terhadap trap legal, atau perangkap kesederhanaan hukum tentang kesadaran logis beberapa manusia dan akal pikirannya. Secara universal adalah satu satunya kreatifitas yang bisa menumbuhkan keseimbangan alam yang terkoyak karena korupsi, pemerintahan yang sewenang-wenang, bencana bahkan kesehatan yang terganggu seperti perilaku bipolar.

Bahkan di Indonesia sendiri, pembangunan negara tidak menemukan ujungnya, karena mereka bermain secara parsial, bahkan teori menemukan musuh bersama untuk bersatu masih dipakai dalam politik benarkah development politik membutuhkan musuh bersama? pilihan musuh bersama masih seputar organisasi massa, Pancasila, dan Khalifah. Berputar-putar dari itu ke itu, padahal untuk membangun kebangsaan tak harus mencari kambing hitam atau musuh bersama. Bukti itu juga nampak saat ketika muncul gerakan menyelamatkan Indonesia ( KAMI ) di deklarasikan oleh tokoh-tokoh seperti Prof. Dien Samsudin, Jendral Gatot Nurmantyo, Dr. Rafly Harun dan kawan-kawan, muncul pula gerakan tandingan yang menamakan KITA sebagai tandingan.

Di media internasional juga pernah terjadi fenomena bagaimana kedudukan kebebasan berpendapat atau melontarkan pendapat dan bagaimana negara lain mengadukan pelanggaran hukum bila merasa dirugikan oleh sosial media, seperti yang terjadi akhir-akhir ini oleh Facebook dimana FB dianggap telah memblokir akun Presiden Brazil. Awalnya sebuah kelompok dituduh menyebarkan berita palsu terhadap hakim. Namun, raksasa media sosial itu mengatakan tindakan itu merupakan ancaman bagi kebebasan berbicara, dan mengatakan akan mengajukan banding atas perintah tersebut. Platformnya telah digunakan untuk menyerukan kudeta militer untuk menutup Kongres dan Mahkamah Agung. 

Pada bulan Mei, seorang hakim memerintahkan Facebook untuk memblokir 12 akun dan Twitter 16 lainnya. Pada hari Jumat, Mahkamah Agung Brasil mendenda Facebook 1,92 juta mata uang Brazil atau reais ($ 368.000; £ 280.000) karena menolak memblokir akses ke akun di seluruh dunia - mereka hanya setuju untuk memblokir akses ke akun yang dapat diakses dari Brasil - dan 100.000 reais, lebih lanjut untuk setiap hari. gagal untuk mematuhi. Pada akhirnya juga tidak jelas apakah Twitter juga didenda. Facebook menemukan jaringan berita palsu yang berbasis di London Inggris.

Facebook mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa perintah itu ekstrim, bertentangan dengan hukum dan yurisdiksi di seluruh dunia. Tapi benarkah dunia mengikuti argumen hukum lokal, kalau benar kebebasan berpendapat adalah hak dasar manusia, maka seharusnya tidak terjadi pembatasan dalam UUITE, dimana negara lain atau gobal industri media bisa sewenang-wenang melakukannya. Pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya kebebasan berpikir dan berbicara ini di tuangkan dalam media yang melindungi mereka yang menggunakannya.

Mengingat ancaman pertanggungjawaban pidana terhadap karyawan lokal khususnya yang bekerja di Facebook di Brazil dan Inggris, maka pada kasus tersebut tidak melihat alternatif lain selain mematuhi keputusan dengan memblokir akun secara global, sementara akun-akun yang diblokir antara lain adalah akun Bolsonoro, Roberto Jefferson, pemimpin partai yang setia kepada presiden, dan Luciano Hang, mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Mereka berempat merasa berada di bawah tekanan untuk menangani ujaran kebencian dan informasi palsu. Kemudian pada Juli, Facebook memblokir lusinan akun di Facebook dan Instagram yang dikatakan terlibat dalam menciptakan persona fiktif yang menyamar sebagai reporter dan menyamar sebagai outlet berita. Dikatakan telah menautkan akun ke karyawan di kantor Mr Presiden Bolsonaro,demikian pula dengan akun putranya Eduardo, Flávio, dan yang lainnya.

Kembali ke soal problem media sosial di Indonesia, menurut temuan ICW pemerintah telah menggelontorkan lebih dari 90 miliar untuk influencer, jasa influencer ini memang menarik di jaman Jokowi, karena lebih dari mereka di indentikkan dengan buzzer meskipun tidak semua uang APBN ini untuk buzzer. Namun kritik yang deras sering di tujukan kepada pemerintah karena realitasnya Buzzer tidak bisa diterima secara rasional bisa menyelesaikan secara kolektif kebuntuan pembangunan apalagi demokrasi. Negara memang membutuhkan komunikasi publik, namun komunikasi yang di sebarkan melalui jasa influencer ini justru mengkaburkan pesan negara, menjadi katalis kebencian dan kegaduhan publik.

Pada frame tertentu buzzer hanyalah kegiatan digital yang tidak nampak, dan tidak menyentuh emosi para buzzer, namun apabila melihat dari konteks komulatif publicity maka kegiatan buzzer tersebut bisa membawa penyakit bipolar secara sosial, dimana masyarakat tidak bisa lagi menfilter secara jernih manakah berita yang musti diikuti, kecuali mereka secara tidak sadar mengikuti objek berita yang harus di terima secara legal. Maksud legal disini adalah objek berita yang diambil berdasarkan observasi dan berita yang sah dan tidak mengadung hoax data. Padahal manusia sebagai makhluk yang penuh pertimbangan nilai, preferensi yang dibangun tidak semata-mata legal - formal namun di dalamnya preferensi agama, psikologis bahkan kebutuhan emosional berupa ketirakatan dengan komunitas tertentu.

Pada penelitian yang di lakukan kepada pasien yang mengalami gangguan bipolar dis- order jenis di atas, mereka melihat susunan otak yang memiliki ekspresi gene yang mengkamuflasekan realitas empiris, pada analisis prediksi data ekspresi gen digunakan untuk mengidentifikasi gen yang paling berguna untuk menentukan keadaan perubahan yang tak biasa dalam aktivitas lokomotor. Dengan demikian, bipolar yang di periksa dalam susunan gen yang digunakan untuk prediksi aktivitas lokomotor mencakup jumlah gen sirkadian yang jauh lebih tinggi, dibandingkan siklik; gen yang diketahui berfluktuasi menurut ritme sirkadian. Gen sirkadian inilah ternyata yang menjadi gen infradian, yang ekspresinya naik turun seiring suasana hati- perubahan perilaku.

Pada tingkat tertentu akan memperparah cAMP dan pCREB, sebagai pengatur hulu dari beberapa gen sirkadian, berkorelasi dengan aktivitas lokomotor. Hasilnya pada otak para penderita gangguan mental bipolar dis -order memberikan bukti adanya gangguan beberapa gen sirkadian dan mesin pengaturnya di otak yang terlibat dalam pembentukan perilaku ritme infradian, banyaknya tugas buzzer jadi menghilangkan ritme infradian pada kognisi otak dan akhirnya semua respek sebagai makhluk psikho-social yang bebas menolak dan menerima perintah dalam kebebasan berbicara tidak bekerja, menulis bahkan merespon apapun yang diterima oleh otak mereka. Biasanya orang dibayar untuk bekerja, berkarya, tapi yang terjadi adalah ini dibayar untuk menyebarkan ide orang lain atau institusi yang membayar.


Tamat.






















Comments

Popular Posts