Politik dan dis- Order para Buzzer



Salah satu alasan mengapa saya sangat tertarik bermain di sosial media di waktu senggang, adalah karena di sosial medialah khususnya Facebook, maka setiap orang bisa menjadi central of public attention bagi netizen lain. Contohnya adalah tidak ada netizen yang mengambil satu keuntungan tunggal seperti yang terdapat di sosial media lain seperti tv, instagram, twitter maupun youtub, dimana siapa yang menjadi pembicara dan siapa yang menjadi audiens, di facebook setiap orang bisa menulis apapun ide-ide itu muncul; dari kelas selebritas dan tokoh terkenal sampe jeritan rakyat biasa dan emak-emak bisa terekam dengan baik. 

Namun di youtub ataupun media televisi tak akan terjadi hal yang seperti itu, mengambil rakyat biasa untuk dimintai pendapat ataupun berbicara, kecuali hanya untuk mensubcribe, mendengarkan apa analisis mereka. Tentunya merekalah sang pembuat konten atau artisnya ( di setiap konten acara televisi ) yang menuai hasilnya berupa pundi-pundi rupiah yang tidak sedikit.  Bodohnya kita juga yang mau memberi makan orang kaya, menjadi konsumen ketenaran mereka. Oleh karena itu saya lebih menyukai film atau berita ketimbang acara-acara receh dan show biz, atau main Facebook saja yang lebih demokratis bila hendak mendapatkan informasi yang aktual.

Namun sayangnya tidak semua pemain di sosial media itu menuliskan berita sesuai dengan keinginannya, yang menjadi masalah adalah dari sebagean mereka adalah kelompok buzzer, yang membuat status secara beragam berdasarkan pesanan isu. Ini yang perlu dihindari, karena cita-cita agar sosial media adalah media yang paling demokratis malah akan menjadi ruang fitnah yang gratis dan membodohkan rakyat. Oleh karena itu diperlukan etika sosial media, minimal berita berita yang berkenaan dengan kemanusiaan, hendaklah dijaga bersama.

Dalam konteks negara juga, berkali-kali kitalah rakyat biasa yang menjadi obyek penderita, pada teori anarki atau problem keamanan misalnya; tujuan tertinggi itu hanya jika kelangsungan hidup terjamin, namun dapatkah negara dengan aman mencari tujuan lain seperti ketenangan, keuntungan dan kekuasaan yang lebih elegan ketimbang hanya mengambil kelemahan rakyat karena kemiskinan untuk sekedar legitimasi elektoral belaka?. Apabila ternyata disebagean politik masih bertumpu pada dua kaki yang berbeda tujuannya karena kekuasaan adalah alat dan bukan akhir, maka negara lebih memilih untuk bergabung dengan yang lebih lemah di saat membutuhkan legitimasi politik atau kekuasaan.

Pada konteks bipolar politik, kita bisa melihat dari realitas terjadinya dua koalisi politik, mereka tidak dapat membiarkan kekuasaan mereka tidak dapat memiliki dua kekuatan, cara yang mungkin berguna, menjadi tujuan yang mereka dambakan untuk mengejar tujuan sistem yang mendorong mereka untuk mencari aman. Peningkatan kekuatan mungkin atau tidak bisa melayani tujuan ini. Perhatian pertama negara bukanlah untuk memaksimalkan kekuasaan tetapi untuk mempertahankan posisi mereka dalam sistem. 

Hipotesis bahwa bipolaritas politik juga bisa mengarah pada stabilitas  yang tidak mengikuti asumsi tentang negara dalam pemikiran neo-realisme. Apa yang di maksud dengan neo-realisme? Neo-realisme atau teori realisme struktural yang dikemukakan oleh Keneith Waltz, kemudian berkembang pula pada umumnya aliran pemikiran positivisme, yang banyak dibaca di buku Hans Morgenthau dan Reinhold Niebuhr; yang mengasumsikan tentang struktur dunia yang bertindak sebagai pengekang negara lain.

Sehingga hanya negara yang kebijakan-kebijakannya berada dalam cakupan merekalah yang bisa bertahan, meskipun sangat dapat diterima untuk mengembangkan asumsi tambahan untuk menyelamatkan teori tersebut, perhitungan mengenai nilai status quo versus risiko yang melekat dalam mengejar lebih banyaknya kekuatan yang terbuang begitu saja, yang dimiliki oleh negara lain dalam menghadapi neo-realist jauh lebih sedikit, khususnya tentang bagaimana negara itu berperilaku  di dunia internasional ( politik internasional ).

Ambil contoh saja soal pandemi global Covid 19, hipotesis neo-realisme ini juga muncul tatkala semua negara ambil bagian dari protokol global, mau tidak mau. Kita kadang berpikir bahwa aspek psikologis atau individual itu tidak berpengaruh pada aspek keterikatan dengan individu lain bahkan masyarakat, bahkan kita ini adalah bagian dari mata rantai dunia. Apabila sikap berbeda saja yang diambil oleh pemerintah, maka akan menjadi sorotan publik bahkan dunia internasional.

Antara neo-rasional dan neo-realis bertemu dalam pilihan-pilihan psikologi sosial maka munculah bipolar politik, ambil contohnya sikap bipolar dalam politik yang bisa mempengaruhi aspek individual adalah realitas Pilpres 2014 dan 2019 yang membuat kita takut berbicara netral. Karena kalau kita berbicara netral pasti akan dimasukkan pada barisan sakit hati atau yang tidak terima kalah dalam Pilpres. Padahal tidak semua rakyat Indonesia berpolitik, bahkan banyak dari mereka tidak peduli siapa yang akan menjadi Presiden.

Namun terjadi di dalam negeri misalnya adalah, saat seseorang ingin mendapatkan suara sebanyak-banyaknya, maka politisi tertentu tidak akan mengambil keberpihakan secara mutlak, karena meskipun sedikit suara dari kelompok manapun tidak bisa menguntungkan secara 100%. Kalau politik identitas dipakai sebagai isu politik maka, politisi akan memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya politik identitas tersebut secara terus menerus untuk memecah kekuatan rakyat atau polarisasi kepentingan.

Bipolar dis-order juga bisa terjadi secara personal, ada beberapa teori yang menjelaskan bahwa tekanan politik yang tinggi dapat berakibat depresi yang tinggi, bipolar depresial adalah bagean dari gejala bipolar yang bertolak belakang dengan kondisi kejiwaan pada bipolar jenis mania, kalau jenis mania fase di mana gejala-gejaanya bisa meliputi rasa bahagia.  Ada ungkapan netizen saya yang bilang bahwa teman saya enjoy-enjoy saja tuh menjadi buzzer; memang dalam waktu yang lama, rasa enjoy dan bahagia memang bisa terjadi pada fase ini, tapi akhirnya akan diikuti dengan menurunnya kebutuhan untuk tidur, mereka ditarget melakukan tugas sebagai buzzer dengan mengirim ribuan komen bahkan harus lebih dari seribu komen provokatif. Coba bayangkan saja, kita yang awam saja menjawab komen secara manual dan normal saja tentu bosan dan capek; bagaimana dengan kewajiban perhari segitu banyaknya? Mereka baru akan mendapat bonus setelah isu mereka viral atau menjadi trending topik. 

Selain pada kasus buzzer kondisi depresi pada bipolar dis-order yang bisa kita tangkap adalah biasanya mereka berkomunikasi dengan gaya berbicara yang sangat cepat, meskipun juga belum tentu juga bahwa bicara cepat adalah tanda dis-order, bisa saja karena kecerdasan. Pada bipolar yang sudah mencapai fase depresif, justru sebaliknya dimulai dengan rasa sedih, bersalah dan berdosa yang berkepanjangan karena telah menjadi buzzer yang tentu bertentangan dengan hati nuraninya atau putus asa dalam waktu yang lama, menarik diri dari keluarga dan teman, serta kehilangan minat pada aktivitas yang diminati dan hanya terfookus pada pekerjaan mereka menjadi buzzer.

Setelah pekerjaan yang menggunakan dua karakter yang berbeda ini, antara dunia maya dengan dunia nyata, secara tidak langsung mempengaruhi kepribadian di bawah sadar mereka. Pada kondisi depresi, seorang bipolar di-sorder mengalami perubahan selera makan yang mirip pada dis-order fase mania, bedanya pada fase depresi terjadi secara signifikan, merasa kelelahan, dan memiliki masalah dengan ingatan, sering lupa, sulit untuk berkonsentrasi, serta ragu-ragu dalam setiap pengambilan keputusan. Pada fase ini pula seseorang bakal berpikir atau mencoba untuk bunuh diri. Muncul pula perasaan gelisah atau impulsif, menjadi mudah terganggu, dan terlalu percaya pada kemampuan diri sendiri

Di dunia internasinal juga sama, fenomena buzzer pernah saya alami saat di Italy, berawal dari seorang teman Kristiani yang bernama Umberto yang hendak belajar al-Quran dari alif, ba , ta kepada saya; pertemanan dengan politisi konservatif di Italy ini terjadi di dunia nyata, karena curious yang tinggi terhadap Islam. Namun justru dari situlah saya mengetahui bagaimana politik konservatif dikerjakan secara sistematis yang fokusnya adalah menjatuhkan pemikiran liberalisme di Italy. Dari Umberto tersebut kemudian saya bisa berselencar di dunia maya, memahami bagaimana konstalasi politik di Italy. Hingga kesimpulannya saya dipertemukan dengan salah satu pemilik modal yang berkecimpung dalam dunia buzzer ( Mr. Steven ). Dengan orang inilah saya tau banyak tentang politik internasional termasuk bagaimana Amerika sangat detail mencuri dengar beberapa informasi dari negara-negara lain, melalui penyadapan informasi khususnya di digital media.

Peperangan isu atau perang media sebagai ganti perang di dunia nyata, memang jamak terjadi di negara-negara yang fokus politik kekuasaan jauh lebih besar dari pada teritorial-regional. Pada saat yang sama Uni Soviet juga pernah keluar dari perang secara teritorial dan itu dianggap sebagai prestise setelah berperang melawan Jerman pada masa Hitler dulu. Negara itu diberi kesempatan hidup  di dunia baru dengan perlawanan heroiknya terhadap musuh-musuhnya, yang dicontohkan oleh beberapa ahli sejarah di Uni Soviet tentang kemenangan di Stalingrad. Uni Soviet juga menawarkan model ideologis, ekonomi dan sosial yang belum pernah ada sebelumnya. Dan itu juga mempengaruhi dunia maya yang terjadi di Uni Soviet dan  keseluruhan Eropa pada umumnya.

Dan ternyata distribusi kekuasaanpun akhirnya masih dilatarbelakangi oleh perbedaan idiologis ketimbang tujuan politik, di mana dua negara memiliki mayoritas pengaruh ekonomi, militer, dan budaya secara internasional atau regional. Seringkali, lingkungan pengaruh akan berkembang. Soviet dan Jerman misalnya sejak 1947, Eropa, yang terbagi menjadi dua blok, berada di jantung perjuangan antara kedua negara adidaya tersebut. Perang Dingin mencapai klimaks pertamanya dengan blokade Soviet di Berlin. Ledakan bom atom pertama Soviet pada musim panas di tahun yang sama 1949 memperkuat peran Uni Soviet sebagai kekuatan dunia. 

Situasi di atas menegaskan prediksi Winston Churchill, pada awal bulan maret 1946, adalah negarawan barat pertama yang berbicara tentang 'Tirai Besi' yang sekarang membagi Eropa menjadi dua Eropa Barat dan Eropa Timur. Perbedaan antara Barat dan Timur memang dapat dilihat secara Wilayah. Eropa Timur memiliki penduduk lebih padat. Mayoritas masyarakat Eropa termasuk ke dalam ras Kaukasoid (berkulit putih, bermata biru & berambut pirang). Eropa Barat lebih mengarah ke bidang ekonomi daripada politik dan geografi. Konsep Eropa Barat ini lebih dihubungkan dengan konsep demokrasi liberal dan kapitalisme. Negara-negara anggotanya memiliki kebudayaan barat dan hubungan ekonomi dan politik yang baik dengan Oceania, Amerika Utara dan Amerika Selatan. Meskipun demikian, istilah yang tampak menjadi masalah sederhana ini memiliki percabangan sosial-politik. Beberapa definisi Eropa yang hanya dilihat secara kontinental terbentur juga dengan realitas dimana Azarbaijan dan Turki dikeluarkan dari kontinen Eropa, ini secara politik dikarenakan termasuk negara Transkaukasia di Georgia dan Armenia lebih banyak beragama Kristen, sedangkan seperti Azarbeijan  dan Turki adalah negeri Muslim.

Jadi bisa di simpulkan bahwa perang idiologis masih berperan dan laku baik di negara maju maupun negara-negara seperti di Asia, Indonesia khususnya di media sosial masih menempatakan perang idiology lebih banyak ketimbang perang kebijakan dan strategi dalam berpolitik. Sehingga wajar apabila pekerjaan buzzer dekat dengan bagaimana membuat sebuah agama tertentu lebih mirip bulan bulanan media dan issu. Entah sampai kapan perilaku media yang seperti ini akan berakhir, mengingat di negara majupun masih menggunakan buzzer sebagai bypass yang memudahkan oligarchi kembali menjadi penguasa.

Bersambung _




Comments

Popular Posts