SERI TATA NEGARA DALAM KUTIPAN ISLAM NUSANTARA 6 :




Dzimmi dalam konteks komunitas sebagaimana sudah di jelaskan pada tulisan di seri sebelumnya bahwa pemikiran dzimmi secara klasik adalah sistem yang meminta metodology tata negara dibawah apologi sebuah diskursus Islam mengenai intepretasi syariah yang berbeda beda. Dimana hak teritori diluar Muslim dibatasi dan diberikan hanya keterbatasan hak, juga kemungkinan terbatasnya hak politik.

Konsep dzimmi berupaya melengkapi hukum ketatanegaraan dalam konteks teori yang diambil dari Islam, dan komunitas masyarakat yang serta merta dilindungi haknya maupun kekayaannya. Bisa jadi praktek dzimmi ini dibalik, sebagaimana terjadi di India, dimana mayoritasnya justru bukan Islam ( hindu ) namun konsep ketatanegaraan yg dipakai mengambil konsep konsep Islam. 

Dzimmi jelas di orientasikan kepada mereka yang tidak memiliki otoritas penuh sebagai warga negara, dan ruang ruang publik, akan tetapi memiliki kebebasan internal dalam menjalankan haknya beragama serta dilindungi oleh negara. Adapun komunitas dzimmi berdasarkan ciri dan syarat kawasan dibagi menjadi tiga karakteristik :

Pertama, darul harb yaitu negara yang bukan terdiri dari orang orang Islam dan tidak berada di bawah kekuasaan umat Islam, terdiri dari beberapa bagean negara negara di kawasan dunia, yang di dalamnya terdapat umat Islam yang menjadi warga negara.

Kedua, darul Islam, yang pernah saya singgung dibagean sebelumnya, adalah kawasan dimana semuanya adalah orang Islam, dan memiliki aturan hukum yang diambil dari hukum hukum syariah atau penduduk Muslimnya bisa melahirkan hukum hukumnya sendiri sesuai dengan Al qur’an dan Hadist.
    
Ketiga adalah darul shulh atau darul ahd, yaitu kawasan yang memberikan kebebasan bagi kaum muslimin untuk menjalankan syariat Islam yang berada pada kawasan negara yang bukan Islam. Indonesia dan India bisa di kategorikan kedalam kelompok ini, apabila negara Indonesia adalah termasuk negara yang menganut agama sekulair.

Konsep dzimmi juga pernah terjadi di kawasan negara yg tak ramah terhadap minoritas, seperti Turki,  konsep dzimmi di Turki tidak dibarengi dengan proteksi kepada minoritas; sehingga negara turki menerapkan sistem jizyah, yaitu diwajibkannya kepada warga negara yang non Islam membayar pajak perlindungan bila ingin menjalankan ibadah atau agamanya juga perlindungan kepada properti kepemilikannya tanpa terkecuali.

Konsep dzimmi di India, lebih reformis dibandingkan Turki, di India pada tahun 1947, adalah pemikiran sayid Ahmad Khan cukup berpengaruh di kawasan ini, tokoh ini banyak mengadopsi pemikiran dan konsep kawasan ( dzimmi ) dari hukum hukum positip di negara Inggris, terutama yang menyangkut teori citizenship. Karena ambivalensi sayid Ahmad Khan ini menerapkan teori dhimmi dalam konteks sekulair tidak di dukung oleh kebanyakan elit elit di India, maka India terpecah menjadi dua negara yg berdiri sendiri yaitu Pakistan dan Bangladesh.

Indonesia tidak menerapkan seutuhnya struktur metode dan konsep konsep dzimmi, pada prakteknya meskipun Indonesia menerima daerah Istimewa seperti Aceh dan Jogjakarta, sebagai bentuk pemisahan kawasan ( hak istimewa ) namun sinkritisme dan kejawen tampak lebih kental dibandingkan penerapan hukum Islam yang tak kaku lagi sebagai bentuk perluasan penerapan hak hak kebebasan masyarakat dalam konteks nusantara yang equal dengan teori teori negara moderen.

Dalam konsep konsep hak dan kewajiban sebagai komunitas, citizenship dan HAM, ilmu tata negara juga memiliki praktek praktek intepretasi hukum dalam penyebaran dan pengorganisasian ide beberapa prosedur moderen sistem ketatanegaraan yang syarat dengan budaya serta kultur Islam nusantara. Dalam teori Institusi misalnya, faktanya konteks normativisme hukum itu bersifat menyatu dan dibangun secara spesifik atas dua teori dasar yaitu institusi dan hukum agama melalui kebiasaan dan adat manusia sejak dahulu kala.

Akan tetapi otak kita menyangkal ketika realitas hukum atau konstitusi hanya dipahami sebatas legal formal atau kulit dan jaketnya saja, istilah dan mereknya saja, tanpa digali secara bijak bahwa bisa saja semuanya dikolaborasikan tanpa sekat dan nama nama yang membuat sebagean orang alergi.

Secara klasik teori institusi dan neo institusi hanyalah bersifat superfisial, dalam konteks normativisme struktur hukum tersebut bersifat sangat dinamis dari teori legal sistem. Contohnya adalah disatu pihak pemikiran anti institusi yang menyatakan bahwa institusi itu anti norma universal dan hanya produk institusi yang tidak murni lagi serta mengalami stagnasi terutama fakta fakta sosial yang berkembang di masyarakat, yang kita kenal dengan istilah  ideís directrices.

Pemahaman ideís directrices atau dikenal dengan governing idea adalah sebuah power serta strategi yang berisi ide ide ssebuah realisasi tugas, M.Houriou (1931 : 37-52 ) menyebutnya sebagai bagean dari kekuasaan dan organisasi yang memiliki tugas penting dalam membangkitkan aksi manusia baik itu intelektual, aksi sosial yang di edukasi guna mencapai proses terbentuk sistem dan proses tata negara yang lebih optimal.

Bersambung ke 7__


Comments

Popular Posts