SERI TATA NEGARA DALAM KUTIPAN ISLAM NUSANTARA 5 :





Diskusi soal Islam dan tata negara itu sama halnya dengan bicara tentang bagaimana orang Islam memahami dan mempraktekkan agama mereka, disamping sebagai sesuatu yang abstrak karena agama itu menyangkut keyakinan orang banyak, dan tidak cuma Islam. Juga diskusi ini menyangkut hubungan antara Islam dan hak azazi manusia. Sebagai suatu jawaban yang menjelaskan kepada perilaku dan kepercayaan.

Muslim bisa menerima atau menolak ide ide human rights atau beberapa norma lebih dalam asosiasi politik, ekonomi, sosial maupun budaya, dalam kondisi masyarakat dan politik Islam yang sebenarnya, dengan konsekwensinya apapun yang menjadi hukum Islam bisa dipakai pada isolasi faktor faktor pengaruh dari pandangan Islam dan intepretasinya, serta menerapkan untuk memenuhi tradisi mereka.

Tidak sejalannya prediksi yang menyesatkan antara Islam dan HAM dari pengetahuan teoritik, sebagai sebuah pelanggaran pakem hukum syariah yang rata rata lebih totalitarianism dan tersentral kepada isi kitab suci dan hukum hukum yang mengikat di dalamnya, maka hubungan itu penting dalam pemgetahuan lebih jauh yang menjelaskan antara Islam dan HAM.

Islam memberi motivasi HAM secara mendasar dan konsisten. Dimana poinnya menekankan secara general kepada prinsip-prinsip syariah yang konsisten pada norma norma perjuangan hak azazi manusia itu sendiri.

Universalitas HAM dalam Hukum Tata Negara 

Ide HAM muncul setelah perang dunia kedua, berusaha untuk mencapai manfaat dari kubu yang kuat dari hak hak yang foundamental tertentu diluar kontingensi politik nasional, visi pendirian adalah bahwa hak hak ini sangat mendasar sehingga yang paling dijaga melalui consensus internasional serta kerjasama dalam rangka proteksi dibawah konstitusi nasional dan sistem legalnya. 

Mendiskusikan konflik-konflik antara syariah dengan constitusionalism adalah sama sama memberikan mediasi kepada mereka sejauh yang berhubungan dengan penerapan HAM. Reformasi Islam bisa mengexplore lebih jauh hubungan antara Islam, syariah dan freedom dalam konteks agama dan kepercayaan. Hal yang terpenting dalam diskusi ini adalah bagaimana mengikuti dua perspektif :

Pertama, Pandangan bahwa konflik antara hukum dan kebebasan agama itu bersifat partikularistik. Artinya hanya menyangkut hubungan antara agama agama serta fungsi idiologi semata. Contoh yang bisa saya sampaikan untuk menggambarkan perspektif ini adalah, pemahaman tradisi, antara Yahudi dan Kristen tentang perbedaan dikenakan hukuman mati yang dipaksakan.

Konsekwensi drastis lainnya adalah soal pelanggaran yang terkait soal hukuman mati keduanya yang memiliki pendekatan yang berbeda beda. Misalnya Kristen lebih menekankan pada resiko murtad atau jenis pelanggaran yang terkait dengan kompromi terhadap pemikiran moderen ketimbang yahudi yang non kompromi pada idiology, sehingga hukuman mati tersebut lebih cepat bisa dilakukan, demi pertimbangan agama.

Kedua, Pandangan yang menekankan pada prinsip prinsip yang menekankan pada relevansi syaria serta prinsip prinsip yang berisi penolakan ataupun penerapan tata negara secara lebih sistematis. Konstitusi yang bersuber pada konflik konflik universal HAM, maka aspek pluralistik dan keberlanjutan konstitusi berasal dari aspek legal dan sosial ( sosio legal ) yang diterapkan.

Term yang kedua ini cenderung mengadung arti konstitusi sebagai citizenship atau kewarganegraan ( civic reason ) yang digunakan pada bentuk partikular sistem politik community, teori negara dan sistem global.

Civic reason adalah tanda adanya penyebaran pemahaman terhadap persamaan harga diri manusia ( human dignity) yang secara inklusive efektif berjalan pada bentuk politik partisipasi. Model model di civic reason khususnya di negara negara Eropa, disana muncul perkembangan nation-state mengarah kepada perkembangan moderen bentuk bentuk teritori wilayah dan hukum.

Dimulai sejak abad ke 8 nation state di Eropa tidak hanya menekankan kepada persamaan warga negara dengan bentuk nasionalisme, tapi juga melanjutkan praktek praktek persamaan warga negara lebih dari yang ada. Memang antara nasionalitas dan citizenship atau kewarganegaraan memang beda, bukan sinonim.

Akan tetapi teori tentang teritori komunitas negara tidak mementingkan subjek feeling yang tepat dan tidak tepat. Mereka hanya menghormati adanya identitas selama konsep konsep tersebut berlaku. Di Prancis misalnya dan negara negara di Eropa barat,  mereka telah mencatat lebih dulu bagaimana mempraktekkan bentuk kewarganegaraan yg hampir sama dengan nilai nasionalitas teritori of state. Demikian pula dengan penerimaan masyarakat Islam di dalamnya.

Namun teori post kolonial membenarkan bahwa muslim dimanapun siap menerima konsep konsep citizenship itu adalah dasar konstitusional dan siatem politik di negara mereka. Hingga muncul metodology baru dalam ketatanegaraan dan teori konstitusi Islam yang melibatkan arbitrasi dalam konsep Darul Islam. Disinilah mulai mundurnya konsep konsep moderen yang sudah dibangun sebelumnya oleh Islam dan negara negara sebelumnya. Yang menegaskan kembali prinsip prinsip dhimmi dalam kelas citizenship negara, disini juga muncul kemudian ide jihad ( khadduru 1955: 56-57 ) muncullah Darul Islam menjadi bentuk propaganda baru dan sukses di Afrika utara sampai ke Spanyol Selatan.

Bersambung ___

Comments

Popular Posts