Selamat Datang 2020, Masa Keemasan atau Masa Suram ?


---

Setiap tahun berganti, setiap kali mengganti kalender baru, bertepatan di akhir tahun tanggal 30 Desember kita diingatkan oleh kematian GusDur sang guru bangsa, setidaknya saat tutup tahun dan mengawali Januari 01/01/2020 kita tidak terlalu sumringah, tenggelam dalam pesta tahunan. Namun di sana ada sepenggal harapan untuk Indonesia lebih baik lagi. Harapan itulah yang membuat kita melihat kebelakang apa kekurangan kekurangan yang sudah kita lakukan setahun sebelumnya. 

Cita-cita bangsa ini, mewujudkan keadilan sosial masih jauh panggang dari api, jumlah orang miskin di Indonesia hingga akhir tahun 2019 masih 25,14 juta orang , meliputi kemiskinan kota dan desa. Bukan cuma masalah kemiskinan saja. Masalah politik yang tak kunjung menemukan identitas dan kelaminnya, demikian pula soal harmonity dan kemanusiaan. Kita seolah tidak memiliki perencanaan yang konkrit, waton berjalan saja. Apalagi apabila kita bicara soal teknologi di tahun 2020 nanti, apa andalan kita, apa sumber daya pengganti kita, apa distribusi science yang bisa dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia.

Alur pertanyaan tentang tekno-sentralisme. Kutipan berikut dari seorang perencana lokal di Jerman menyatakan bahwa kita harus melihat ke dalam agenda perkotaan: Bukan berarti sentralisme teknologi pertanian dan pedesaan tidak penting. Akan tetapi di Jerman dan sebagian negara maju lainnya memang sudah selesai memfokuskan pertumbuhan teknologi terbarui di desa desa tertinggal khususnya pertanian.  Gerakan ruang publik perkotaan, udara bersih untuk semua orang dan ketersediaan mobilitas dengan harga yang terjangkau. Sekarang menjadi fokus utama mereka saat ini; Jadi, tujuan politik dan kota secara keseluruhan, dan kita perlu melihat ke semua solusi yang ditawarkan oleh industri: apakah mereka benar-benar melayani tujuan tersebut atau apakah orang-orang hanya berjalan di belakang mode baru atau tren baru, kemungkinan baru? Mungkin itu bertentangan dengan tujuan nyata, karena tujuan sebenarnya bukan untuk memiliki kemudahan bergerak, tetapi untuk memiliki kota yang makmur, di mana setiap orang dipekerjakan dalam situasi terbaik dan di mana orang-orang suka hidup, di mana mereka merasa aman untuk hidup dan itu tempat yang tepat untuk menjadi, tetapi perlu diingat bahwa teknologi hanya untuk melayani itu dan tidak menentukan apa yang harus terjadi sebuah kota di masa depan.

Saat ini, tahun tahun kemarin lima tahun lebih rezim Jokowi bisa dilihat pembangunan fisik alias infrastruktur lebih banyak mendapatkan perhatian dan menyedot APBN kita, meskipun belum saya temukan apa big design pembangunan infrastruktur seperti jalan TOL itu menghubungkan usaha usah tekno sentralisme yang dibangun, apalagi tekno lokalisme alur pembangunan. Yang penting terlihat jalan bagus, mobilitas cepat; Apalagi usaha usaha yang ada kaitannya dengan masyarakat ekonomi menengah dan bawah. Untuk menyimpulkan, tentang wawasan yang signifikan tentang betapa pentingnya untuk melacak pertimbangan diskursif dari teknologi modernisme, teknologi yang menyambung hidup dan berkeadilan bisa benar benar untuk membentuk masa depan kota. 

Pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana urbanisasi yang cerdas dapat dicapai membutuhkan musyawarah dan diskusi kolektif yang memungkinkan terjadinya konflik yang konstruktif dan perselisihan serta perdebatan yang dilakukan. Pada saat yang sama, keinginan, kebutuhan, dan visi membutuhkan ruang untuk artikulasi sebelum garis tindakan didefinisikan. Dengan cara ini para pembuat keputusan dapat menghindari mereproduksi jalur-dependensi yang sama berulang-ulang yang menentukan sebelumnya solusi dan menyembunyikan musyawarah transparan mengenai jenis masyarakat yang ingin dihuni warga negara dan makna yang mereka tetapkan untuk mobilitas kehidupan sehari-hari. 

Benarkah konflik konflik adalah bagian dari dialog pembangunan? Saya melihatnya dibiarkan begitu saja, kalau konflik konflik hanya sekedar produk isu tanpa opini dan tujuan maka ia akan menjadi bola liar di setiap tahunnya, dan akhirnya ketika pemilihan umum, Indonesia tidak mampu menemukan kesimpulan apa yang sudah dilakukan dalam proses demokrasi tersebut, ganti pemimpin, ganti lagi arah global politik tanah air. Musyawarah tidak pernah menunjukkan usaha bagaimana menjadi nilai  musyawarah yang diskursif, dapat menciptakan ekspansi ontologis, yang merupakan kapasitas transformatif pembuat keputusan dan warga negara untuk menciptakan hal-hal yang belum ada. Karena apa? Karena founding father kita membiarkan terus menerus di wilayah diskursif ontologis, bagaimana dengan epistemologis? ya, diskursif yang didasarkan pada gagasan dan pengetahuan bahwa orang tidak dibujuk oleh fakta, tetapi tertarik oleh perspektif dengan karakteristik yang sesuai dengan rakyat Indonesia dan filosofinya.

Melalui artikulasi, fakta dan fiksi bisa kabur dan masa depan baru muncul. Mengapa fiksi dibutuhkan? Jadi ingat saat salah seorang netizen Rocky Gerung melontarkan kata fiksi ini, meski di konten yang kurang pas, namun pemahaman fiksi dalam pembangunan politik sudah sejak lama saya baca dan pelajari. Praktik yang berubah dipandang selalu mencakup perubahan persepsi dan definisi masalah itulah fiksi. Terhadap latar belakang ini, di masa depan sebaiknya para pembuat kebijakan, warga negara, dan seniman,  dapat berfungsi sebagai ruang imajiner yang aman, di mana peserta akan dapat mengembangkan ekspansi ontologis melalui merenungkan dan berbicara tentang bagaimana hubungan mobilitas masa depan dan kota dapat direposisi, bergerak ke arah yang baru, dan digunakan untuk menghasilkan kebijakan baru dan lebih cerdas. Semoga dilakukan di tahun 2020 ini kedepan oleh Negara, aamiin ( inilah harapan dan seharusnya resolusi pemerintahan saat ini ).

Comments

Popular Posts