KATROKISME, PERSELINGKUHAN DI MEDSOS




Istilah katrok biasalah kita memakainya untuk hal hal yang kadang kadang dilakukan oleh sebagean orang yang menunjukkan karakter norak, ambigu dan vulgar. Akir akir ini banyak orang katrok saya lihat di sosial media, baik dari aspek pergaulan sehari sehari maupun kejadian kejadian yang menjadi isu politik di negeri ini. Bagaimana tidak, kasus perempuan dan anak di CFDI yang awalnya menuai simpati publik, terutama pengguna sosial media paska tragedi dan diskriminasi di acara care free day Monas kemarin disusul peristiwa tewasnya anak saat pembagean sembako dalam acara Pesta Rakyat di Monumen nasiona sehari sebelumnya.

Ternyata ujung dari penilaian kemanusiaan masyarakat yg positip ini malah jadi jualan laris dan politisasi yang habis di goreng oleh pendukung masing masing. Untuk mereka yang mendukung Jokowi momen itu dijadikan simbol perlawanan diskriminasi dengan meme dan profil gambar Ibu dan Anak; dengan tagar saya tidak takut. Hampir mirip dengan dulu rame slogan saya tidak takut milik densus anti teror. Disisi lain kelompok yang sangat konsisten dengan tagar #2019gantipresiden momen tersebut mencurigai sebagai bentuk jualan gratis seperti halnya simbol gelang, kaos dan baju kota kotak zaman ahok dulu yang dilakukan oleh relawan.

Memang tidak ada yg gratis untuk makan siang politisi medsos, kadang saya heran benarkah mereka dibayar dan uang gaji tersebut memang mencukupi kebutuhan hidup sehari hari, atau minimal kerja begituan sangat prospektif untuk masa depan. Atau memang bangsa ini sangat katrok dimana semuanya bisa menjadi sangat penting untuk dikerjakan. Contoh lagi isu kalajengking yang digoreng habis, hanya gara gara ucapan Jokowi dalam pidato yang intinya sebenernya ingin menekankan pentingnya waktu, tapi pada akirnya yang tertangkap oleh publik justru sebaliknya.

Hal inilah yang kadangkala saya berpikir; ITU mungkin kali ya yang disebut politik anomali, apapun kalau awal persepsi kita sudah tidak baik soal seseorang karena pengelolaan pencitraan yang salah, maka apapun yang dilakukan akan serba salah dimata publik apalagi pembencinya dan lawan lawan politiknya. 

Satu lagi petunjuk ‘katrok’ yang saya amati akir akir ini di media sosial khususnya Facebook, banyak sekali orang di usia senja mereka mulai jatuh cinta, dan itu di umbar di media sosial, dibaca anak dan suaminya, ataupun sebaliknya. Hal itu menjadi kewajaran, saat media sosial menjadi alat curhat yang kedua dan murah ketimbang ke psikiater ataupun dirumah sendiri.

Bahkan tua tua galau di media sosial banyak menghinggapi pria atau wanita dewasa akir 40 tahun mendekati 50; gaya bahasa ala anak muda jaman now yang alay mewarnai status status mereka setiap hari, dan bukan menjadi rahasia, medsos seperti facebook menjadi media perselingkuhan yang paling mujarab, tanpa resiko perpecahan keluarga dan biduk rumah tangga, karena hampir dipastikan kedua duanya, pasangan suami istri tersebut sama sama aktif di media sosial, dan sama sama galau.


Model perselingkuhan medsos ini memang jarang terjadi di media sosial di Eropa, kalau saya perhatikan orang Eropa jarang memakai media sosial untuk mengekspresikan libido sexual manusia dewasa, mereka lebih banyak chat privat melalui WA, atau memang langsung terjadi di dunia nyata ketimbang dunia maya. Saya menilai kemungkinan budaya katrok ini muncul berlatar belakang krisis budaya, dari budaya tradisional ke arah era budaya moderen digital. 

Negara negara maju yang biasa vulgar terhadap kebebasan berpekspresi mencintai pasangannya dan melakukan perselingkuhan, tidak terlalu kaget dengan media sosial, karena tanpa media sosialpun ‘pekerjaan’ mencium dan memeluk orang yang dicintai di jalanan tanpa segan itu hal biasa. Lain dengan bangsa Indonesia, yang memandang kebiasaan mereka itulah yg katrok, sehingga implementasi ekpresi krisis identitas dan kelabilan usia usia puber kedua tersebut terasa lebih etis bila disembunyikan dalam dikotomik dunia nyata dan maya.


Sebagai sebuah negara yang mengalami krisis budaya, tentu katrokisme adalah bentuk kewajaran hidup dan bisa jadi memang baru ITU gunaya media sosial di negara berkembang, yang baru sebatas membunuh kejenuhan karena realitas kondisi kerja dikebanyakan negara berkembang, khususnya budaya kerja di Indonesia masih terbilang rendah. Mereka tidak perlu bangun pagi pagi untuk mengejar pola hidup yang dinamis seperti di negara maju. Karena ibarat masih santaipun kita masih bisa makan dan jajan bakso. 

Lain dengan persaingan hidup dimana beaya hidup yang sangat tinggi, kekayaan alam tidak se melimpah tanah air kita, yang setiap warga negara bisa menanam tumbuhan dan bisa makan di teras rumahnya, menanam rempah rempah yang bisa dijual dan dikonsumsi sendiri, membuat kolam kolam kecil untuk ikan ikan dan para kecebong hidup dan berguna buat persediaan perut bila lapar.

ITU tak bisa kita temui dan lakukan disini, di Eropa; yang rata rata kita hanya punya sepetak ruangan di appartment yang fokus pendapatan dan cara menyambung hidup kita satu satunya hanyalah melalui satu pintu, yaitu keluar dari pintu rumah dan mencari kerja 

Yang menjadi pertanyaan saya adalah, benarkah malas dan tantangan hidup yang berat itu akan mengurangi katrokisme dalam kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan aspek sosial, politik dan behavior? Benarkah perilaku perilaku sosial berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan publik?

Analisis saya sebagai seorang architect dan konsen di development studies, tentu ini tidak ada kaitannya sama sekali, namun jelas; masyarakat secara makro menunjukkan perilaku tersebut. Filosofinya adalah creature, membentuk budaya sendiri sendiri, yang dalam ilmu architecture secara filosofis adalah juga bagean dari faktor identitas sebagai manusia, Homo sapiens, yang berbeda dari dunia fisik, mineral, sayur dan hewan; 

Indentitas pun dibagi menjadi dua, yang pertama identitas sebagai anggota kelompok yang mana seseorang bisa berbagi dan membahas nilai; keluarga, pesta polis, klub, dll. Sedang yang kedua kita melihat Identitas sebagai individu yang mempertahankan batas kebebasan dan tanggung jawab pribadi, berbeda dari kelompok dan dari yang lain, sehingga setiap orang dikatakan sebagai faktor yg unik (Von Meiss 1990: 161).

Menyambung ITU tadi, maka memang benar, katrokisme hanya berpengaruh pada dataran tempaan budaya, bukan kuantitas, dan kualitas tantangan kerja serta kebutuhan. Sehingga sampai kapanpun Indonesia tak akan keluar dari ruang aman dan nyaman apabila mereka tak mencoba keluar dari tempurungnya. 

Revolusi mental gagasan Presiden Jokowi ini memang luar biasa, sehingga empat tahun yang lalu saya harus memilihnya, namun gagasan tersebut hanyalah ilusi tanpa strategi dan pilihan program serta kebijakan yang mengimplementasikannya. Mental tak bisa disepadankan dengan pembangunan infrastruktur dimana mana, karena pembangunan infrastruktur tersebut hanya akan menciptakan tantangan kerja dan dinamisasi struktur, bukan budaya dan cara pandang revolusioner perubahan yang frontal soal mental. 



Comments

Popular Posts