Seri Tata Negara dalam Kutipan Islam Nusantara 2 :




Pada seri sebelumnya sudah dijelaskan bagaimana ciri ciri negara moderen khususnya pengalaman bentuk bentuk negara Islam moderen di Asia, Eropa maupun Afrika. Dari bagean tersebut terdapat puncak sumber sumber kekuasaan Authority dimana wilayah kekuasaan lebih mengutamakan aktor legitimasi ketimbang produk legitimasi.

Sebenernya menjadi hal yang sangat mudah ketika kita membicarakan soal masuknya beberapa Islamic point of view ataupun Christian point of view dalam sebuah variasi tata negara yang sekularis, toh semua nilai nilai hukum agama manapun bisa mewarnai bersama. Tapi karena tumpang tindihnya wilayah konsep dasar kelompok kelompok atau grup nilai dalam civic reason lah menyebabkan kita merasa segala sesuatunya harus bercampur dengan kebutuhan HAM, padahal itu beda ruang kaji dan kapasitasnya. 

Saat produk hukum harus mengacu kepada tatanan etnik dan kekayaan lokal, masa kita harus seret seret pruduk hukum pada kebijakan asosiasi bisnis, atau agama, atau mungkin yang lainnya, kerancuan inilah yang membuat pola pikir kita tidak runtut dan konsisten terstruktur. Pada akirnya kita tak membutuhkan debat berkepanjangan diskriminasi hukum dalam konstitusi.

Pada umumnya masyarakat melihat bahwa pemerintah Authocracy diasumsikan sebagai konsep tata negara yang diktatorship padahal kadangkala di dalam sistem demokrasipun seiring kita lihat banyak hal hal yang diktator, apabila menyangkut persamaan hak dan kewajiban secara umum. Kesimpulannya negara moderen atau modern state dilihat dari institusinya adalah bagean dari representasi kekuatan politik yang tidak panjang yang diturunkan dari autoritas personal dimana garis garis kekuasaan fungsi delegasi serta kekuasaan bersifat dinamis dan cepat berubah.

Jurgen Habermas dalam tulisannya, mencoba mengkombinasikan antara civic reason dengan public reason. Ide tentang public reason secara spesifik adalah sebuah idea paling mendasar dari basik moral dan nilai nilai politik yang membedakan antara konstitusi demokrasi pemerintah yang berhubungan dengan negara negara, dan hubungan antara keduanya ( publik dan nalar publik ).
    
Pengetahuan publik adalah subjek publik yang menekankan pada good publik, atau masyarakat yang baik terhadap persoalan persoalan yang foundamental political justice, alam dan konten public. Marthin Luther king Jr. juga mengambil sumber sumber public reason bersumber pada artikulasi nilai nilai dan politik pada konstitusi. Kebanyakan pemikirannya lebih banyak mengikuti pandangannya soal inklusivitas prinsip - prinsip yang sesuai dengan publik, logika publik atau hal hal yang bergantung pada nilai sejarah dan kondisi sosial secara riel di lapangan.

Saya jadi tertarik melihat dari sisi pemikiran Lukacs‘  dalam bukunya yang berjudul the Destruction of Reason , tentang fenomena della volpes. Mereka membedakan jelas, sangat membedakan antara teks verstandt dengan vernünftige, dialektika identitas pada masa Corletti yang menemukan metodologinya. Yang kemudian bisa menemukan bentuknya dengan jelas bagaimana pemahaman kapitalisme dan pemikiran Marx di barat khususnya Eropa ketimbang di Amerika atau Asia.

Indonesia mengambil teori ini sepotong sepotong, disatu sisi sekularisme konstitusi berarti lepas landas dari keterikatan agama sebagai dasar fondamental, politik hanya soal vis a vis kebutuhan kekuasaan dan politisi. Sehingga pemahaman yang sempit inilah beberapa komunitas Konservatif  seperti bak bulan bulanan politik di medan social campaign, yang tidak mengenakkan. Karena obyeknya dianggap kurang propagandis, sara, jumud, tidak fleksibel, karena mereka berhenti pada simbol simbol identitas, bukan bicara konstitusi.

Hegel sendiri bilang soal nihilisme, dia bicara soal homogenisme dalam unitas kosmik, keberagaman itulah kunci dari ide public reason yang hendak saya jelaskan dalam season ini, perbedaan atara identitas dengan identitas dan bukan identitas tapi dianggap sebagai sebuah identitas. Dialektika secara total menjadi proses bergaining eksistensi publik menerima dan menolak atau mengontrol proses adalah bentuk kegagalan politik ketika belajar mengidentifikasikan masalah publik.

Hal hal penting yang dapat menjadi mediasi konflik kebijakan dengan mempertimbangkan civic reason dan public reason antara lain adalah :

Pertama, Domain dari civic reason harus aman dari kepentingan khususnya pemerintah, apalagi sengaja dibuat dalam organisasi negara terstruktur. Apalagi civic reason yang hidup dalam sebuah rezim yang sarat dengan social group dan mudah terbentuk pengelompokan politik dan identitas masyarakat yang di kontrol, maka akan sulit membangun civic reason ini. Gus Dur telah mengajarkan kita hidup berdampingan sesama identitas, maka tidak boleh lagi ada satu identitas yang ingin hidup lebih dominan dari identitas yang lainnya.

Kedua, Hukum dan negara adalah pemberdayaan masyarakat yang lebih jauh, artinya kemungkinan adanya banyak masyarakat dimana individu atau group merepresentasikan diri dalam dialog kebijakan publik pada civic reason, maka akan lebih baik dan efektif lebih lebih apabila yang berpartisipasi adalah mereka yang berasal dari lintas masyarakat, budaya, agama dalam proses deliberasi civic reason.
  
Terakir, Negara dan regulasinya adalah bagean dari public reason dan civic reason, bukan institusi yang berdiri sendiri. Namun negara tidak boleh membuat kedua elemen itu terikat dan terkontrol melalui kepentingan politik, kecuali menjamin civic reason bisa mengontrol dirinya sendiri dengan mengelola hubungan antara negara dengan nilai nilai keberagaman, selama aktor politik dan sosial melakukan proses dialog, diskusi, debat, nego maupun konsensus. Demikian pola yang produktif, dimana negara dan pemerintah hanya menjadi mediator netral dan bukan provokator

Bersambung—




Comments

Popular Posts