Seri Tata Negara dalam Kutipan Islam Nusantara 1 : ( Terorisme )








Diskusi tentang konstitusi, HAM dan Negara adalah bagean yang paling integral dalam praktek dan pandangan tentang sekularisme dalam sistem tata negara. Sekularisme bekerja pada aspek yang lebih jelas dari hanya memisahkan antara fungsi fungsi negara dan Agama. Namun keduanya secara natural juga terkoneksi dengan berbagai sumber kebijakan publik yang secara tidak sadar, sudah lama dianut atau minimal diterima oleh sebagian besar masyarakat.

Konstitusi mengutamakan hukum dan politik yang direalisasikan ke dalam bangunan serta standar - standart persamaan hak, khususnya dalam definisi hukum internasional maupun legalitas hukum lokal dan regional yang menyangkut customary of law. Di sini kemudian muncul kemungkinan sebuah pandangan soal Islamic point of view, atau pemikiran sebagian masyarakat yang memandang penting memasukkan hukum Islam ke dalam tatanan negara.

Antara institusi dan prinsip prinsip legal dalam konteks Islamic point of view itu kemudian mendapatkan respon yang beragam, yang secara garis besar dapat saya golongkan hanya menjadi dua bagian :
  
Yang pertama, pandangan yang melihat hukum Islam secara tradisional. Pandangan ini lebih banyak terlihat manakala di Indonesia mulai terkutub kutub menjadi dua domain kepentingan politik; antara kelompok yang mendukung ditegakkan kembali khilafah atau kedua, negara Islam dengan domain yang bertentangan dengan konsep khilafah, dan tetap mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Interpretasi tradisional tatanegara Islam yang dibalut dengan isu khilafah ini selalu saja dihubungkan dengan konteks penghargaan Islam kepada kedudukan perempuan dan non muslim, yang berkaitan dengan term akidah dan ibadah.

Yang kedua, adalah pandangan hukum Islam secara modern, yang akan lebih banyak kita bahas, dalam sesi ini, yang mana nanti bisa dihubungkan pada impact terorisme dalam aspek politik. Hukum Islam sebaiknya mewarnai hukum positif lain secara netral dalam pelaksanaan agama, dalam kehidupan bernegara di mana pemerintah bisa mengambil posisi lebih netral dalam konteks kekuasaan diluar domain privat. Hal ini mengandung arti bahwa regulasi tersebut bisa saja diambil oleh institusi agama seperti yang terjadi di Indonesia; contoh penerapan UUPA, setelah mendapatkan dukungan politik, sehingga mungkin hukum hukum positif dapat ikut mempengaruhi di dalamnya, pasal pasalnya, sebagai fungsi civic reason.

Civic reason adalah sebuah pemikiran publik yang bisa diperdebatkan melalui debat dan diskusi yang dipublikasikan, atau kalau dalam kontestasi pemilihan masyarakat bisa diadu dalam visi dan misi, oleh individu atau masyarakat bahkan mungkin oleh komunitas yang diikuti oleh norma norma kebanyakan masyarakat setempat maupun aspek aspek yang mengikutinya atau mutual civic reason.

Civic reason merupakan proses adaptasi dan diambil dari permintaan kebijakan serta legislasi dalam demokrasi, di mana publik dan legislasi mereka bisa ikut mengakses kebutuhan dasar masyarakat dan diinginkan oleh semua lapisan atau pengguna agama, tanpa terbebani oleh penolakan akidah mereka masing masing. Seperti contoh hukum perkawinan antar agama, hukum muamalah dan perjanjian jual beli, waris atau hukum Islam yang terikat dalam beberapa ketentuan bank syariah dan sebagainya.

Gill dalam tulisannya ( 2003: 2-3 ) bahwa tujuan dari teritori hukum negara meliputi tujuh variasi nilai antara lain :

  1. Negara adalah sebuah organisasi birokrasi yang tersentral, di dalamnya negara adalah organ yang paling vital dalam konstitusi, serta fungsi fungsi institusi yang bekerja secara formal, legal dan struktural hirarkis
  2. Hirarki yang belum terkoneksi seperti negara disebut civil society merupakan organisasi sosial, partai, NGO, asosiasi bisnis dan sebagainya, dimana masih membedakan antara state dan politik
  3. Modern State
  4. Teritorial domain agama
  5. Monopoli
  6. Organisasi keagamaan di luar institusi agama, yang lebih bersifat independent contoh organisasi tarekat dan sufi
  7. Terakhir adalah sentimental yang tersisa, meliputi etnik, religious, atau keberagamaan, penghayat kepercayaan, budaya dan sebagainya.

Dari ketujuh tujuan teritori hukum diatas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa betapa tumpang tindihnya pola domain hukum di Indonesia dilihat dari hukum tata negara, contoh kasus saja soal penghayat kepercayaan dan etnisitas, yang seharusnya dikelompokkan dalam nomor 7 kini masuk ke dalam domain 4, begitu seterusnya bisa dikritisi sendiri.

Menyoal terorisme yang muncul di Indonesia, sebagai puncak gunung es berbagai persoalan horizontal yang tidak cepat diselesaikan secara terbuka dan intensif, namun kecenderungan sikap malas beberapa stake holder departemen tertentu yang seharusnya bertanggung jawab secara preventif di samping juga represif. Menanggulangi aksi teror secara preventif bisa dari komunikasi secara intensif tokoh tokoh kharismatik, secara langsung ke kantong kantong radikalisme dan komunitas yang dianggap memiliki doktrin yang radikal seperti wahabisme, HTI, komunitas salafi dan sebagainya.

Pola pola agitasi dan provokasi di sosial media saya pikir tidak akan efektif pasca UU ormas diberlakukan. Pola tersebut akan memunculkan kebencian dan antipati terhadap pemerintah secara masif. Sudah saatnya teror dipandang sebagai oknum dan dampak politik, sebagaimana penelitian Schamid yang mengatakan bahwa terorisme itu hanyalah 17 % dinilai dilatar belakangi dari sisi agama, 83,9 % nya dari definisi tujuan tujuan politik dan global dan 21 % berasal dari persoalan diskriminasi. Mau tidak mau ini adalah hasil research yang perlu diperhatikan, disamping kita tidak menafikan bahwa faktor pemahaman agama yang radikal bisa memantik aksi terorisme di Indonesia.




Bersambung













Comments

Popular Posts