Ekonomi Untuk Komunis. Kritik Ekonomi Berkembang
Hal yang paling menarik ketika kita melihat fenomena munculnya kembali issu tentang PKI, maka yang paling menarik adalah membaca kembali buku Marxis, The Comunist Manifesto, dan beberapa buku seperti Zur Kritik der Politischen Oekonomie, di mana berisi analisis tentang politik ekonomi. Ekonomi tidak bisa dilepaskan dari persoalan buruh dan tenaga kerja bila berbicara soal komoditas. Menyajikan kesulitan ekonomi yang menyangkut substansi nilai-bentuk, yang bentuknya sepenuhnya dikembangkan adalah nilai dan uang.
Pada analisis ekonomi, kekuatan abstraksi harus menggantikan keduanya, antara uang dan nilai. Namun dalam penggunaan uang masyarakat borjuis, komoditas-bentuk produk kerja – atau nilai dalam bentuk komoditi – adalah faktor lain yang lebih penting dalam pertimbangan ekonomi. Sejarah perkembangan khas masyarakat Jerman telah melarang, di negara itu, semua karya asli dan hak patent ekonomi yang berasal dari borjuis, kritik tersebut mewakili kelas, hanya dapat mewakili kelas yang dalam sejarah adalah penggulingan modus produksi kapitalis dan penghapusan kelas proletariat.
Das Kapital yang dibaca selama ini, karena demi tranquilisasi pikiran borjuis, mereka justru menemukan bahwa taktik ekonomi bourjouis tidak lagi cocok dengan kondisi saat itu, mereka menulis, bahwa kepura-puraan demokrasi ekonomi terletak pada hak buruh dan tenaga kerja, namun sebenarnya apapun istilah yang diambil sebenarnya tetap sama, mereka belum juga menemukan resep dan teori baru yang melebihi kedahsyatan kapitalisme.
Eropa barat sudah menemukan posisi murni teoritis. Bahwa metode yang digunakan dalam “Das Kapital” telah dimaknai dalam konsepsi, bertentangan satu sama lain. Seperti teori positivisme ekonomi, yang berkembang di Paris. Dengan kuantitas substansi nilai menciptakan tenaga kerja, terkandung dalam bentuk Kuantitas kerja, bagaimanapun, diukur dengan durasi, dan waktu kerja pada gilirannya menemukan standar dalam minggu, hari, dan jam.
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa jika nilai komoditi ditentukan oleh kuantitas kerja yang dihabiskan di atasnya. Lebih lebih seperti buruh di Indonesia, semakin berhargalah makna komuditas dibandingkan waktu karena lebih banyak waktu akan diperlukan dalam produksinya. Tenaga kerja, yang membentuk substansi nilai, adalah tenaga manusia homogen, mengeluarkan satu tenaga kerja sama halnya mengeluarkan seribu kesempatan mendapatkan tenaga yang paling murah.
Kekuatan tenaga kerja total masyarakat, yang diwujudkan dalam jumlah total nilai dari seluruh komoditas yang dihasilkan oleh masyarakat itu, sama halnya pertaruhan mereka mendapatkan kesempatan kembali. Namun tidak bagi tenaga manusia homogen, mereka tetap dianggap sebagai ‘karyawan pabrik’ yang murah meriah dan mudah didapatkan. Hal penting di sini sebagai satu massa homogen tenaga kerja manusia, meskipun itu masing-masing unit yang tak terhitung banyaknya. Setiap unit ini adalah sama dengan yang lain, sejauh ia memiliki karakter tenaga kerja rata-rata dalam sebuah masyarakat pekerja pada umumnya.
Ekonomi memang membutuhkan komoditas, kerja dan produksi. Waktu kerja yang dibutuhkan oleh industri maupun korporat untuk mengeruk keuntungan, buruh menjual waktu, dan pengusaha membeli nilai dan waktu. Setiap komoditas individu, dalam hubungan ini, adalah untuk bisa dianggap sebagai sampel rata-rata. Oleh karena itu, di mana jumlah yang sama dari tenaga kerja yg diwujudkan, atau yang dapat diproduksi dalam waktu yang sama, memiliki nilai yang sama.
Nilai satu komoditas dengan nilai lainnya, seperti waktu kerja yang diperlukan untuk produksi adalah satuan yang diperlukan untuk produksi. Dan harusnya memiliki nilai yang lain, namun ternyata itu akan tetap konstan, jika waktu kerja yang diperlukan untuk produksinya juga tetap konstan. Tetapi perubahan terakhir dengan setiap variasi dalam produktivitas tenaga seperti jumlah rata-rata keterampilan pekerja, ilmu dan ketrampilan yang dimiliki, tingkat aplikasi praktis, organisasi sosial produksi, luas kemampuan alat-alat produksi serta jumlah yang sama dari tenaga kerja rata-rata semua telah mewakili nilai lebih. Artinya kuantitas tidak mempengaruhi kualitas. Itulah ciri ciri sebenarnya komuditas kapatalis. Kemudian bagaimana dengan komunis?
Sebenarnya komunis menerapkan hal yang sama, cuman posisinya dibalik, kalau hak ada pada komuditas namun pada komunis hak ada pada buruh. Bukankah bila semua buruh tetap diupah dengan model waktu dan harga waktu yang tidak berubah bagi tenaga kerja homogen maka akan sama dengan mereka para tenaga kerja mandiri? terus apa yang berbeda antara buruh yang merdeka dengan buruh yang dimiliki oleh individu atau boujouis itu? Tujuan langsung dari Komunis adalah sama dengan semua pihak proletar yang lain, yaitu seperti ; pembentukan proletariat ke dalam kelas, penggulingan supremasi borjuis atau penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat.
Kesimpulan teoritis dari kaum Komunis sama sekali tidak didasarkan pada ide-ide atau prinsip-prinsip yang telah diciptakan, atau ditemukan oleh pembaharu yang bersifat universal. Mereka hanya mengungkapkan, secara umum, hubungan yang sebenarnya muncul dari sebuah perjuangan kelas yang ada, dari gerakan sejarah terjadi di bawah mata kita. Penghapusan hubungan propherti yang ada sama sekali bukan bagean dari ciri khas komunisme. Semua hubungan propherti di masa lalu telah terus-menerus menjadi sasaran akibat perubahan historis atas perubahan kondisi sejarah. Dalam konteks pemikiran komunis apapun tetaplah bersifat pemaksaan, merampas hak yang lebih homogen, banyak dan murah dalam konteks ekonomi.
Lebih-lebih di negara berkembang, issu komunisme lebih aneh lagi. Issu ini justru merambah di tingkat idiologi dan agama, jauh dari sejarah perkembangan komunisme moderen. Bahaya laten komunis dalam bentuk penafian moralitas subjektif lebih banyak dibahas dibandingkan pembahasan ditingkat praktek ekonomi dan negara. Sebenarnya teori yang dibangun sudah sangat mentah dan tulisan yang di publikasikanpun sedikit dan ditulis dalam bahasa provokatif. Coba kalau buku buku sejarah itu biar terpajang dan dibaca tentu bagi mereka yang membaca pemikiran tentang politik ekonomi lebih jauh, maka tentu mereka akan melihat bahwa tulisan dan pemikiran komunisme itu biasa-biasa saja. Bukan sesuatu yang menakutkan. Sama halnya ide ide khilafah yang provokatif akan diterima sebagai ide dan hasil inteletualitas pembangunan negara yang biasa biasa saja. Mengapa kita selalu menerimanya dengan provokatif?
Bahwa kaum proletar harus tetap dalam batas-batas masyarakat yang ada, tetapi harus membuang semua ide kebenciannya mengenai borjuis, seperti dalam revolusi komunis. Demikian kata Marx yang secara praktis, dianggap kurang sistematis. Bentuk Sosialisme ini berusaha terdepresiasi setiap gerakan revolusioner di mata kelas pekerja, dengan menunjukkan bahwa tidak ada reformasi politik semata, tetapi hanya perubahan dalam kondisi material eksistensi. Dalam hubungan ekonomi bisa menjadi keuntungan apapun kepada mereka.
Dengan perubahan kondisi material eksistensi, bentuk Sosialisme, bagaimanapun, tidak berarti memahami penghapusan hubungan produksi borjuis. Pola penghapusan hanya dapat dilakukan oleh revolusi, reformasi administrasi. Berdasarkan keberadaan lanjutan dari ini hubungan antara reformasi dan demokrasi ekonomi, bahwa tidak menghormati antara posisi pemilik modal dan pekerja akan hal di atas tentu akan mempengaruhi hubungan antara modal dan tenaga kerja. Modal harus dimiliki oleh pekerja bisa dilakukan dalam bentuk korporat terbatas.
Yang terbaik adalah mengurangi biaya dan menyederhanakan administrasi. Bagaimana dengan Indonesia, sudahkah kita menyederhanakan birokrasi dan administrasi? Bagaimana mungkin kalau pada kenyataannya pengeluaran beaya operasional negara dan para pejabat kita jauh lebih besar dari pada beaya rutin negara. Artinya uang rakyat ataupun pajak kita habis buat beaya fasilitas para pejabat yang se abrek dari kementerian, eselon dan dana taktis para DPR. Dan anehnya di medsos intelektual netizennya bicara soal agama dan konflik interes soal agama terus menerus.
Comments