Psikologi Pembangunan







Psikologi Pembangunan Mental Masyarakat Urban

  

Pernah tidak kita merasakan terasing sendiri ketika berada di keramaian, pernah pula tidak kita merasa tidak memiliki tempat dimana kita tinggal? Itulah psikologi masyarakat kota yang tergerus oleh individualisme dan gaya konsumerisme. Ketika saya hidup di Eropa, saya juga merasakan kesepian yang sama. Karna pada dasarnya manusia itu adalah makhluk sosial yang memiliki sifat monogenik atau sifat pewarisan sosial yg terus menerus pada watak dasar yang sama. Oleh karena itu manusia membutuhkan rumah dan rasa ingin pulang, atau kembali ke habitat sosial yang mengenalinya. Pada saat ini mental dan moral masyarakat yang hidup di perkotaan sudah sangat berubah. Hampir kita tidak mengenali mana wajah orang baik dan wajah penjahat. 

Ketika kita tau justru hampir 20% lebih kejahatan seksual perkotaan justru terjadi kepada kelompok masyarakat yg mengenal agama, pendidikan bahkan tingkat ekonomi dan sosial yg cukup tinggi. Kedok kebaikan tersamarkan oleh tuntutan moralitas masyarakat yg terkikis dan semakin lama standar moral dan etika masyarakat urban pun bergeser kepada materialisme dan pragmatisme.

Pernahkah kita merasa dan berpikir bahwa selama ini kita hidup buat diri sendiri? Menghidupi keluarga, menaikan status sosial, memanjakan gaya hidup dan seterusnya. Pernahkah kita merasa bahwa kesetiakawanan sosial di negeri kita sudah berkurang? Itu terjadi karena kehidupan di kota khususnya kota kota besar seperti Jakarta sudah tidak sehat lagi.

Bukan hanya kesehatan fisik dan kesehatan mental secara keseluruhan. Kondisi tata kota di Jakarta khususnya benar benar sudah tidak teratur, ini berdampak pula kepada mental masyarakat urban yg rusak dan tidak manusiawi. Bahkan jauh berbeda dg kondisi negara maju yg sangat toleran terhadap sesuatu yg menyangkut hak publik. Saya ingat ketika saya mendapatkan kecelakaan di Jakarta pertama kali, karena diserempet oleh pengendara motor, tak satupun manusia menolong saya, bahkan tidak mereka yg melihat saya secara langsung.

Berbeda ketika di Eropa, betapa pengendara sangat menghargai pejalan kaki. Tanpa tanda lalu lintas pun pengendara selalu mendahulukan pejalan kaki, mereka dg tertib dan sadar secara spontan menunggu menyebrang lewat dibandingkan dengan mendahului para penyeberang. Tidak ada tata tertib tertulis, namun kesadaran individual ini menjadi kesadaran bersama ketika itu menjadi hak publik. Demikian pula dengan hak keselamatan. Sehingga bisa dipastikan seberapa banyak aturan lalu lintas dan rambu rambu lalu lintas di tancapkan, seberapa banyak polisi lalu lintas itu di kerahkan tentu tidak akan berpengaruh banyak bagi pembangunan mentalitas masyarakat kota apalagi perubahannya.

Kemudian apa sesungguhnya pembangunan psikologi mental masyarakat urban itu? Pembangunan mental adalah sebagaimana yang dimaksud dengan revolusi mental oleh Presiden Soekarno yaitu membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.  
Namun bagaimana kita mau berkompetisi, apabila kita iri ada orang yang memiliki kelebihan dr diri kita. Yang sudah tinggi tidak menghendaki yg lebih rendah kondisi sosial ekonominya atau pendidikan menginginkan lebih, bagaimana bisa berkompetisi dengan sehat apabila yang miskin tidak bisa mendapatkan kesempatan dan hak yang sama. Bagaimana mau berkompetisi. Apabila manusia dan anak muda yg memiliki ide ide yg cerdas, akan tetapi sedikit membahayakan bagi status qua, cepat cepat mereka tutup link dan kesempatannya.


  


Oleh karena itu, fase pertama bagaimana membangun mental di masyarakat urban seperti kota kota besar yaitu pendidikan Agama. Bukan menghapus agama apalagi Departemen yang menaunginya. Saya salah satu korban dr kesewenang wenangan Departemen Agama, dan rendahnya akuntabilitas negara, dengan rendahnya apresiasi dan respek yg tinggi kepada pecinta ilmu seperti saya.

Namun pemecatan yang sepihak yang saya alami oleh Departemen Agama tersebut, khususnya institusi STAIN, tidak membutakan mental saya untuk mendukung penutupan Departemen agama sebagai penyokong integritas dan intensitas departement ini dalam misi pembangunan mental bangsa. Departemen agama kalau berubah menjadi Departemen penyelenggara haji belaka, hal itu justru akan mereduksi fungsi fungi dari pembangunan mental secara makro. Agama juga memberikan banyak contoh bagaimana beretika yang paling dasar dalam kekerabatan dan keluarga. Cinta dan kasih sayang kepada sesama.

Kedua adalah pemahaman masyarakat soal demokrasi, mengapa saya katakan ini adalah bagian terpenting kedua dalam pembangunan mental bangsa? Karena Demokrasi adalah peletak pertama dasar dasar bernegara, memahami dan melaksanakan nilai nilai demokrasi yang baik akan bermanfaat bagi nilai nilai luhur filosofis kebangsaan yang lain, seperti toleransi, kerukunan, kebebasan berpendapat, bermusyawarah, gotong royong, keadilan , persatuan dan sebagainya.

Dan yang terakhir adalah Pembangunan mental harus difasilitasi oleh pembangunan infrastruktur yg baik juga oleh negara. Contoh saja, Mental sudah baik kalau membuang sampah tidak boleh sembarangan, namun bagaimana kalau tidak dibangun fasilitas sampah yang baik? Mental sudah baik dengan mengusahakan dan menciptakan generasi yg cerdas, namun bagaimana generasi akan tumbuh berkembang dengan baik apabila tidak terpenuhinya fasilitas pendidikan dan kurikulum yang baik, lingkungan yang baik dan seterusnya. Singkatnya Hal yang penting yang bisa dilakukan secara sinergis pembangunan mental adalah pembangunan tata kota yang sehat kondusif dan sesuai dengan semangat revolusi mental bangsa.

Comments

Popular Posts