Konstitusi Indonesia, Kemana Kita Menuju





Pada umumny teori Konstitusi, Keadilan, Liberalisme atau Filsafat Politik John Rawls telah diterima relatif lebih banyak perhatian dalam pemikiran filsafat politik saat ini. Namun pemikiran yg tumbuh di Amerika tentu berbeda dengan situasi di Indonesia, yang mungkin Liberalisme hanya dimaknai sebatas filosofis praktis.

Menurut John Rawls sebuah teori harus ditolak atau direvisi, jika tidak benar, karena alasan tidak efektif lagi bagi idea baru yg produktif tentang negara, fenomena yg terjadi sekarang adalah masyarakat menyangkal ide keadilan hanya karena ketakutan, menyangkal hilangnya kebebasan untuk beberapa hal itu membuat pemahaman tentang keadilan atau kebenaran yang lain lebih besar dimaknai secara sepihak. 

Rawls telah memberi makna baru bagi pemahaman utilitarianisme dalam filsafat politik, ia berpendapat utilitiarianisme tidak praktis dalam pilihan pilihan hipotetis saja, kemudian dia memberikan berbagai jenis tertentu utilitarianisme dalam tata negara dan demokrasi dalam kerangka filosofi politik dan justice.

Teori ini berdampak segera di Indonesia, selama 75 tahun yang lalu, feodalisme dari Belanda berpengaruh besar terutama perang politik dalam setiap suksesi memiliki efek mendalam pada tingkat kesadaran berbeda, dimana ketakutan masyarakat di klaim sebagai penolak gagasan reformasi Pada tahun 1987, situasi ini, rupanya masih belum membaik. Sekelompok pembaharu muda tetap menyatakan ketidak puasan pada pemerintah sekarang yg merupakan bagean dari hasil persetubuhan reformasi di Indonesia.  
Pemahaman sisi lain dari pemikiran utilitarianisme Rawl adalah sisi lain dari ide-ide hukum. Rasionalisme Hobbs, Marxisme, dll, juga memiliki prinsip umum tentang utilitarianisme konstitusi yang ingin saya tulis di sini. Dari diskusi tentang lembaga-lembaga demokrasi yg bernuansa liberal. Sebenarnya sistem politik dan penggunaan teori teori dasar untuk melihat bagaimana mereka mengukur tingkat liberalisme konstitusi di Indonesia dari kebebasan politik, peran peran legislatif dan yudikatif sebagai hak-hak institusional mungkin sudah menempatkan penekanan yang berbeda pada masing-masing peran.

Latar belakang masalah lainnya adalah apakah manfaat tersebut tidak juga diikuti oleh konstitusi liberal? Benarkah kemudian Indonesia menganut liberalisme konstitusi? Ataukah pra liberal ( harus membaca dulu perbedan teori ini dengan benar ), benarkah konstitusi dasar Indonesia sudah beradaptasi dg konstitusi lain khususnya Islam dan positivisme sebagai bentuk kontitusi yg pluralis?

Pertama, yang kami pikir tentang terminologi baru, bentuk Republik dan spirit nasionalisme tentu saja ini dilatarbelakangi oleh adanya pemikiran tentang pluralisme politik , pluralisme politik merupakan dampak dari utilitarianisme klasik dan kita sebut objektivitas moral, sebuah standar yang kita bisa membuat penilaian secara interpersonal yang kuat dari makna utilitas bernegara. Sebagaimana pemikiran Rawls yg tidak menganggap serius perbedaan antara justice dan judgment.

Dua, bisa saja melihat ini dalam masalah yang lain, mengizinkan penilaian interpersonal menuju konstitusi liberal. Misalnya kita memiliki hanya teori cabang pemikiran, mengambil dan merujuk dari falsafah Pancasila tentang persatuan Indonesia, jika kita meninggalkan banyak kitab hukum dan sejarah sampai sekarang, dan hanya akses ke amandemen hukum tahun 1998. Toh tetap saja kita tidak bisa beradaptasi lagi dg pemikiran yg sebenarnya masih pada pilihan antara kapitalisme dan komunisme. 

Secara ideologis kesatuan yang dimaksud tetaplah antara pilihan keduanya. Dan tujuan dari pernyataan diatas adalah mungkinkah Indonesia menggunakan utilitas maksimum dari konstitusi yg melibatkan masalah konflik dan tradisi hukum dalam masyarakat secara horizontal, namun mungkin juga Indonesia sengaja melakukan ambiguitas demi tetap bercokolnya kekuatan pemilik modal dan agen kapitalism tetap menjadi robinhood yang menjaga kesatuan dan kemiskinan yang berkeadilan. Rawls memandang bagean ini sbg substantif studi, bukan sebagai kontribusi argumentasi untuk proses diskursif mengenai institusi dasar masyarakat.
  
Prinsip-prinsip keadilan dari John Rawls, perlu kita kaji agar teori teori yg dibaca oleh funding father kita tidak lagi teori lama yg berkarat. Mempertimbangkan catatan sejarah bangsa Indonesia yg ambigu pada keputusan pra amandemen dan pasca amandemen tentang kesatuan Indonesia yg tetap saja implementasinya adalah merupakan penjabaran utilitarianisme kapitalistik. Selama periode ini, Indonesia dicapai beberapa reformasi. Prinsip-prinsip konstitusi republik yang berpotensi demokratis, malah jauh panggang dari apinya, mereka mengakomodasi sentralism dan menghindari pengulangan pembahasan beberapa pilihan mereka di masa orba.
   



Indonesia sengaja dipisahkan kekuatan dan didistribusikan produk hukum yg menguatkan itu. Madison (1787) sebagaimana ia menjelaskan tentang konstitusi di Amerika, konstitusi yang dihasilkan dari pembahasan mereka, dampaknya selama bertahun-tahun rakyat hidup di bawah keadilan standart, dan tidak masuk akal, diperpanjang lagi oleh proses hukum yg sangat diskriminatif hanya untuk menyenangkan orang-orang dan kelompok tertent.

Hanya untuk mengambil sebuah kesadaran dan minat dalam kemajuan ilmu politik yg semakin berkembang dan tentu saja berkembang seduai dg konstitusi yg di sakralkan. Saya jadi ingat pemikiran Rousseau tentang tradisi naturalis democration, untuk mempelajari konteks sejarah politik sebuah negara, bagaimana dia mempelajari Geneva sebagai laboratorium teori konstitusi, yg tidak bisa lepas dari bentuk konflik nilai, representasi yg berubah, keterbatasan ekstensi, partisipasi, dan terakhir adalah konflik itu sendiri.

Kematian negara adalah dampak dari ide-ide tentang republik, berjibaku soal NKRI, sehingga ada satu mitos yg yg sudah menjadi penyakit dari zaman orde baru sampai reformasi, tentang NKRI adalah harga mati, tulisan ini mencoba memberi makna kembali tentang bagaimana menggugat nasionalisme yg salah kapra. Dan bagaimana nasionalisme itu dipahami oleh demokrasi hanya untuk menyatukan ideology. 

Pertama, liberalisme konstitusi, tidak bisa lagi mengekang pemikiran masyarakat itu berkembang. Esensi konstutusi adalah the process of social learning, kita tidak bisa mengatasnamakan apapun demi interpretasi tentang NKRI. Apalagi negara masih menggunakan partai politik dalam wilayah artikulasi dan partisipasi berdemokrasi, meskipun partai politik belum seutuhnya berfungsi sebagai nilai linkage yang dimaknai sebagai linkage participatory, linkage electoral, linkage clientelistic dan terakir linkage directive.

De liberalisme masih tetap saja mengembalikan liberalisme baru dengan mengusulkan program reformasi untuk transisi, meskipun teori politik normatif, di era ini masih tetap saja menggunakan metodologi teori model lama, model orde baru.

Filsafat Politik di Indonesia.  

Realisme politik telah datang jauh dari versi baru yang mendorong bangsa Indonesia pada keadilan dan pemerintahan yang sah, otak otak dan pemikiran yg disusupi pemikiran liberalisme namun dalam konteks konstitusi mereka justru jauh dari liberalisme, ketika Thrasymachus menyatakan bahwa “keadilan yang merupakan kepentingan dari pihak yang lebih kuat” maka Thucydides memutuskan untuk pergi dari Athena menuju Melians hanya memimpikan bentuk pemerintahan yg moderen, realis, dan dapat diintegrasikan dalam pemahaman normatif politik, kembali dorongan dorongan anti-utopia yang normatif teori mulai tumbuh dan berlabuh di realitas politik yang ada.

Atau dengan kata lain realisme penyatuan sebagai bentuk penekanan pada Pancasila nyata merupakan wujud dari proses persatuan bukan pengintegrasian. Sikap politik tidak pernah mengambil ekspresi untuk mengakui adanya sesuatu yg baru dalam pemikiran dan klaim publik, ini sama halnya saya mengatakan wilayah publik sudah menjadi rebutan kelompok kelompok intelektual dan hegemoni persuasif sosial media.

Dalam bentuk realisme radikal yang tetap bertentangan dengan teori normatif yang ada, dalam proses demokrasi di tanah air kita. Merelatifkan perbedaan mendasar, inti dari setiap teori normatif, antara otoritas yang sah dan ke sewenang-wenangan kekuasaan. Meminggirkan seperti pertanyaan legitimasi hanya bagean dr bentuk demokrasi yg heterogen kelompok adalah sama halnya menafikan legitimasi dan teori teori otonomi yg mungkin berasal dari autokrasi atau pemikiran khilafah yg bisa diakomodir dalam proses demokrasi yg cantik.

Biasanya dengan cara menyamakan legitimasi dg keyakinan legitimasi akan berakibat munculnya konfigurasi kekuasaan yg berpotensi pada kondisi tertentu yg menguntungkan otoritas rezim yang saah. Sehingga sia-sia semua spekulasi normatif tentang dasar aturan yang sah yg lainnya dalam kontes kuno realisme dan normativism pada masa lalu yg merupakan bagean dr sejarah demokrasi manusia di dunia ini.  

Schumpeter, telah mengakui pentingnya legitimasi otoritas, tapi kemudian dia impor kritis legitimasi dengan cara menyamakannya dengan fakta dari keyakinan legitimasi , terlepas apakah keyakinan tersebut dibenarkan atau tidak, harus mendiskriditkan apa yang sebut “moralisme” tersubordinasi terhadap politik untuk standar legitimasi dan prinsip-prinsip moral lain, atau membaca moral Konstitusi lain adalah sama halnya tidak mau menerima otoritas untuk menentukan medan baru dalam proses demokrasi, sebagai keyakinan lain yg dibenarkan dalam legitimasi kekuasaan.

 

Mengidentifikasi “pertanyaan politik pertama” ( konsevative ) sebagai dasar di mana bangunan filsafat politik bersandar, di sepanjang garis pemikiran klasik Hobbes, “Negara sebagai benteng pengamanan ketertiban, perlindungan, keselamatan, kepercayaan” sangat jauh dalam kondisi real bangsa ini. Sementara bentuk mentah realisme di masa lalu gagal memadai membedakan antara otoritas yang sah dan kekuasaan yang sewenang-wenang. Realisme abad ke-21 memang memasukkan asumsi normatif menjadi tidak masuk akal. Sehubungan dengan teori normatif, ia hanya memodifikasi dasar perbedaan dan menolak realitas moralitas yang ‘bergerak’.

Apabila teori ini dikaitkan dengan utilitarian dan deontologis nya teori Rawlsian atau Dworkinian yang berpandangan bahwa- dari memanfaatkan uji kewenangan sah untuk beberapa jenis, maka prinsip moral tradisionalpun bisa disebut sebagai moralisme yg bergerak.

 Realisme politik seperti otonomi politik menjadi sangat naif dan usang apabila pada kenyataannya kita masih memperlihatkan ketidaktahuan kita soal otoritas dalam pemikiran demokrasi. seperti yang kita lihat, hanya langkah pertama untuk memenuhi permintaan legitimasi dasar. Dengan kata lain, pada waktu tertentu pluralitas pengaturan politik mungkin bisa menjawab semua pertanyaan pertama sekaligus memenuhi “permintaan legitimasi dasar” untuk batas yang berbeda, yang menimbulkan pertanyaan yang lebih mendasar, yang menggambar pada frase Rawlsian.
Pada skema ini otoritas politik adalah yang paling masuk akal bagi kita. Kita harus mengembangkan sikap politik-realis hingga titik kontak sedekat mungkin dengan normativism kompatibel dengan tetap mempertahankan perbedaan: bagi negara untuk memenuhi permintaan legitimasi dasar (dan dengan demikian bagi otoritas bisa menjadi sah) berarti untuk memberikan lawan solusi atau menyediakan mereka sebuah media yg rasional.

Agar bisa diterima oleh pemilih atau tidak diterima oleh pemilih dalam sebuah partai tertentu misalnya, toh pemahaman ekstrimis non ekstrimis masih harus berhadapan dg wilayah hukum yaitu Pluralisme hukum itu tadi. Dengan kata lain tidak akan ada manusia melihat produk otoritas sebagai sebuah demokrasi tanpa melihat sisi gelap dalam demokrasi dan lawan politik atau oposisi.

Meskipun semua bentuk otoritas politik harus menjawab “pertanyaan sah atau tidak, legitimate atau tidak ” maka agar dapat dianggap sah, tidak semua perlu memenuhi “permintaan legitimasi dasar” dengan cara yang sama. Di beberapa belahan dunia, proses demokrasi itu mungkin wajar untuk menempatkan syarat tambahan pada otoritas, untuk menjawab pertanyaan pertama: misalnya, orang mungkin memerlukan otoritas yang juga memenuhi standar liberal-demokratis tertentu. Ini adalah unsur filsafat politik realisme itu bertahan. Tidak ada yang lebih dari yang dapat dikatakan dalam karakter liberal-demokrasi, selain fakta bahwa di beberapa bagian dunia atau negara orang harus melihat perbedaan pilihan sebagai syarat mereka mengakui legitimasi otoritas yg kuat.

Mengenai legitimasi, ini adalah sama bentuknya dengan demokratis dan non-demokratis nya sebuah otoritas, Williams membahas masalah ini dalam konteks retrospektif. Jika hanya dengan modernitas otoritas yang sah harus memenuhi standar liberal, maka fakta ini tidak memberikan dasar untuk mengatakan bahwa semua negara non-liberal di masa lalu itu tidak sah, dan itu akan menjadi hal yang konyol untuk mengatakan bahwa autokrasi pun tidak sah. Penghakiman politik yang diterapkan pada masyarakat kontemporer, mengklaim bahwa kita dapat mempertimbangkan bentuk lain dari demokrasi kita seperti, Serikat, federasi, kesatuan, persatuan, republik dan bentuk bentuk negara yg lain.

Variasi tersebut bergantung kepada gagasan legitimasi yang digunakan, dalam hal ini adalah normatifitas liberal atau non-liberal yang realistis menemukan kemungkinan masyarakat tersebut untuk mencapai stabilitas legitimasi. Dan saat ini masyarakat Indonesia cukup stabil, memahami dan dan mempraktekkan perbedaan pilihan. Masyarakat kita tidak biasa liberal dalam kondisi pemberontakan . Mengutip Habermas ‘Antara Fakta dan Norma sebagai teks yang menguraikan kondisi legitimasi demokratis akan mendasari persepsi modern kita ber legitimasi’.
Politik Liberalisme, berdasarkan pandangan Rawls adalah politik legitimasi sebagai terhubung dengan prinsip moral. Inti dari Politik Liberalisme justru memanfaatkan standar legitimasi untuk konsepsi politik keadilan didukung oleh warga yang menganut beragam konsepsi yang komprehensif terhadap moral. Bukan kebetulan, tujuan menyatakan teori Rawls adalah untuk menyelidiki kondisi yang memungkinkan masyarakat yang stabil dan hanya untuk bertahan dari waktu ke waktu meskipun ketidaksepakatan di antara warganya. Ini pemahaman yang bisa diubah dalam teori dan pemahaman tentang otoritas dan legitimasi sebagian diakui oleh Williams di review Politik Liberalisme, yang berisi wawasan penting tentang legitimasi yg selalu datang kembali dari arus bawah, tapi mengabaikan realisme dan Moralism dalam Teori Politik.

Satu hal yang tidak bisa saya bayangkan tentang pemikiran legitimasi yang meragukan sejarah dan perkembangan masyarakatnya, kita bisa membayangkan bahwa populasi manusia telah hidup dalam pergolakan politik dan kekuasaan selama ribuan tahun sebelum konstitusionalisme liberal diterima, harus menanamkan pandangan yang berbeda dari apa yang di zaman kita membuat otoritas yang sah dalam pemerintahan liberal-demokratis dan menafikan dari jenis kelamin lain dari politik. Atas dasar suatu ketakutan distabilitas dan konflik horizontal apalagi fundamentalisasi ideology. 

Negara ini sudah diperintah oleh ambisi ambisi liberal namun tidak tau menerapkan liberalisme. Struktur teori liberalism normatif tidak harus meninggalkan atau mengartikulasikan rasa yang tidak menarik dalam gagasan liberal-demokratis otoritas sehingga berkontribusi terhadap difusi pemikiran yg kontra demokrasi, merendahkan bentuk asosiasi politik dan partisipasi yang dianut oleh orang-orang yang ragu-ragu untuk merangkul liberalisme.


Comments

Popular Posts