Urban People
Peta politik menjadi semakin jelas ketika partai politik dan organisasi yg membawa gerbong lama memiliki standart yang sama dalam opini publik. Sekali lagi kita melihat tontonan politik yang mengharu biru dalam pemilihan Gubernur Jakarta yang masih beberapa bulan lagi. Komunitas pendukung dan pemilih memang masih terbagi dua kubu, sama halnya yang terjadi ketika pemilihan umum Presiden kemarin. Namun perbedaan ini bukan lagi dilatarbelakangi oleh kepentingan perbedaan organisasi besar di negeri ini. Meskipun dalam beberapa hal kita melihat perkembangan yg cukup baik hubungan antara Muhamadiyah dan NU dalam mengambil sikap tentang pilihan politiknya.
Melihat perkembangan dalam konstalasi riel pemerintahan sekarang memang dimenangkan oleh kelompok dan komunitas dari salah satu organisasi terbesar itu. Baik personal yg duduk di pemerintahan, aktivis yg mencoba bermain diranah publik maupun intelektual yg berusaha membuat pembenaran di media sosial. Dan yang jelas era sekarang memang lebih menguntungkan bagi perkembangan dan membuka katup peran abangan, komunis generatif dan non moslem atau moslem liberal dalam tanda petik.
Ketersinggungan HMI misalnya pada kasus pengambilan kutipan oleh ketua KPK Saut Situmorang. Sadar ataupun tidak sadar mengutip bahwa HMI sebagai contoh lembaga yg lebih korup dari pilihan organisasi kemahasiswaan lain seperti PMII misalnya bukan tidak memiliki alasan. Meanstream ini mungkin dibangun oleh siapa saja yg pernah terlibat secara aktif dan merasa memiliki kultur politik yg membekas. Sampai kapanpun Indonesia memang akan terhubung karma lama yang otentik tidak akan bisa hilang sampai ahir zaman, apabila konsep tentang pembangunan negara dan politik masih saja dibangun oleh kesadaran golongan.
Bukankah pikiran manusia sejak abad 19 memang dibangun oleh sejarah yang mondial dari waktu kewaktu? Dewey dalam tulisannya tentang the school and society mengatakan bahwa faktanya adalah kehidupan sosial berjalan dibawah sebuah ketelitian disatu sisi dan perubahan radikal disisi lain. Jika pendidikan bisa memaknai kehidupan politik dan bernegara maka ia harus melewati dengan cepat keseimbangan dengan kelengkapan transformasi pengetahuan.
Lawrence Cremin mendiskripsikan metode ini sebagai laki laki dan perempuan yg sedang pergi untuk bekerja, mereka sebenarnya bukan sedang mencari sesuatu untuk perut mereka atau menabung untuk kehidupan kelak ketika mereka sudah tua, namun mereka memaknainya upaya yg terkonsentrasi agar dapat melengkapi beberapa pengetahuan sejarah kehidupan alami masyarakat kota moderen, sebagai masyarakat industri yang membutuhkan eksistensi lebih besar atas komitmen mereka terhadap sesuatu yg diyakini oleh mereka sebagai pilihan yg abadi.
Sulitnya mereka beradaptasi sama halnya sulitnya mereka berubah dari waktu kewaktu, melakukan mutasi sejarah organisasi, bisa saja berubah nama, namun tetap akan memiliki bentuk yang sama dari peninggalan nenek moyang mereka. Akulturasi organisasipun tak akan bisa membendung sikap mereka apabila kemudian nanti bersinggungan dengan politik dan kekuasaan.
Mari kita berkaca bersama, politik itu bukan sesuatu yang sulit kita fahami, bahkan kita bisa bernegoisasi dengan mereka, pertama kita harus merestart meanstream dikepala kita dahulu. Bahwa organisasi itu bukan untuk tetap menggerakkan kekuatan sampai dengan post pemilihan. Organisasi adalah kekuatan politik dimana eksistensi politik tersebut tumbuh dan berkembang, sesuai dengan kebutuhan masyarakat atas negara.
Kedua, NU ataupun Muhamadiyah sebagai pemenang pemilu tahun 2014 secara garis besar, bukanlah kemudian diproyeksikan sebagai kemenangan organisasi anak sekolahan, sulit meninggalkan hegemoni kelompok, relasi kultural bahkan kemudian menjadi representasi kekuasaan. NU atau Muhamadiyah yang menang secara alat politik organisasi, sebaiknya memang berhenti cukup pada pesta pemilihan, campaign dan pembelajaran organisasi. Mereka tidak boleh meninggalkan kelompok kecil lainnya. Apalagi kelompok besar yg berpengaruh dalam steak holder politik di Nusantara.
Comments